Dituding Terima Upeti Ratusan Miliar Dari Tambang Ilegal, Reputasi APH Di Aceh Terpuruk

TheTapaktuanPost | Banda Aceh. Transparansi Tender Indonesia (TTI) mendesak Kapolda Aceh Irjen. Pol. Marzuki mengusut tuntas praktik setoran suap yang diterima oknum aparat penegak hukum (APH) dari tambang ilegal mencapai ratusan miliar rupiah per tahun.

Setoran suap ke aparat penegak hukum itu diungkap oleh Tim Pansus DPRA dalam Rapat Paripurna terkait Pansus Minerba dan Migas yang dihadiri langsung Gubernur Aceh Muzakir Manaf bersama Forkopimda Aceh di Banda Aceh baru-baru ini.

Bacaan Lainnya

Dalam laporannya, tim Pansus DPRA menyampaikan isi temuannya dilapangan dimana terdapat ratusan tambang ilegal yang sedang berlangsung di hutan Aceh. Pansus juga menemukan 1.000 unit lebih Exavator atau Beko yang sedang merambah hutan Aceh secara ilegal.

“Masyarakat meminta Kapolda Aceh segera membentuk tim mengusut kasus ini secara terang benderang, siapa saja sebagai penerima mulai dari Polsek, Polres sampai Polda bahkan bisa jadi melibatkan pejabat di pusat harus diungkap dan ditindak tegas,” kata Koordinator TTI, Nasruddin Bahar kepada wartawan, Sabtu (27/9/2025).

Nasruddin menegaskan, reputasi Kepolisian Republik Indonesia selaku Aparat Penegak Hukum yang berada ditengah – tengah masyarakat langsung terpuruk (Anjlok) ke titik terendah ketika di isukan APH menerima upeti yang disetor oleh pemilik Exavator sejumlah Rp 30 juta/ bulan, jika dikalikan 1.000 unit x Rp 30 juta maka setiap bulan APH menerima Rp 30 Milyar atau Rp 360 Milyar pertahun.

“Ini merupakan sungguh jumlah setoran suap (upeti) sangat pantastis,” kata Nasruddin.

Menurutnya, masyarakat Aceh tentu sangat terpukul mendengar setoran yang sangat besar itu. Jika saja uang ratusan milyar tersebut masuk ke kas Negara sungguh pendapatan yang sangat besar. Pemerintah bisa menggunakan uang pajak tambang tersebut untuk membangun fasilitas infrastruktur umum/publik.

Namun demikian, Nasruddin juga menilai bahwa desakan agar pemerintah menutup total kegiatan tambang ilegal di hutan-hutan Aceh tersebut juga bukan solusi yang tepat. Pemerintah dalam hal ini Gubernur Aceh diharapkan dapat mengambil keputusan lebih bijaksana. Gubernur Aceh segera mencari jalan keluar yang adil.

Soalnya, jika saja ada 1.000 penambang mempekerjakan 10 orang dan masing – masing mempunyai tanggung jawab 5 orang maka dapat dikalikan terdapat 10.000 x 5 = 50 ribu orang yang menggantungkan hidupnya pada kegiatan tambang ilegal itu.

Karena itu, Nasruddin menawarkan solusi yang tepat kiranya Gunernur Aceh segera mendata tambang – tambang ilegal tersebut untuk dijadikan penambang resmi (legal) dengan cara membuka wilayah pertambangan rakyat (WPR) dengan luas maksimal 100 hektar.

Langkah konkretnya, Dinas Pertambangan dan Energi Aceh segera duduk bersama dengan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk mencari solusi jika tambang rakyat masuk dalam kawasan hutan lindung.

“Jika semua tambang sudah mempunyai izin resmi sebagai tambang rakyat maka pajaknya disetor langsung ke kas daerah/negara bukan ke kantong oknum aparat penegak hukum,” pungkasnya.

Pos terkait