TheTapaktuanPost | Jakarta. Gejolak di Kabupaten Pati bisa dibaca sebagai gejala fiscal stress. Besar pasak daripada tiang demi proyek prioritas presiden.
Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati harus bersiap-siap. Pemangkasan anggaran yang mereka tetapkan kini memicu gejolak sosial.
Pada Rabu, 13 Agustus 2025, dan beberapa hari ke belakang, kerusuhan terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Rakyat Pati menolak kebijakan Bupati Sudewo yang menaikkan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan atau PBB-P2 hingga 250 persen.
Kenaikan pajak itu tak lepas dari pemangkasan anggaran yang dijalankan pemerintah pusat. Selama ini Kabupaten Pati, seperti juga daerah lain, mendapat anggaran berupa dana transfer ke daerah atau TKD dari pusat. Tahun ini nilainya terpangkas seiring dengan pengurangan anggaran di pusat.
Pada awalnya Kabupaten Pati akan menerima dana TKD Rp 2,1 triliun, dengan dana alokasi khusus (DAK) Rp 49,3 miliar dan dana alokasi umum (DAU) bidang pembangunan umum Rp 9,8 miliar. Pemerintah pusat menyunat jatah TKD itu sebesar Rp 59 miliar. Dampak pengurangan jatah TKD adalah penurunan DAU dan DAK fisik pada sejumlah unit kerja, di antaranya Dinas Pertanian dan Peternakan serta Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang. Padahal dua unit kerja ini cukup vital karena berhubungan dengan mata pencaharian warga Pati dan ketersediaan infrastruktur dasar di daerah itu.
Itu sebabnya Bupati Sudewo kemudian mencari cara untuk menambal kebutuhan belanja dan cara tercepat adalah menaikkan pajak daerah, seperti PBB-P2, meski pada akhirnya berbuntut kerusuhan massal.
Yang perlu diwaspadai pemerintah pusat, gejala semacam ini bisa meledak di banyak daerah. Bayangkan saja, tahun ini pemerintah pusat memangkas dana TKD Rp 50,59 triliun atau 5,5 persen dari total alokasi awal.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2026, rasio TKD akan kembali dipangkas menjadi 2,8-2,9 persen dari produk domestik bruto (PDB). Turun dari rasio TKD per PDB tahun ini yang sebesar 4,05-4,70 persen. Bayangkan apa yang terjadi pada daerah yang hidupnya mengandalkan “transferan” dari pemerintah pusat karena sumber ekonominya minim.
Para ekonom menyebutkan gejala yang terjadi saat ini sebagai fiscal stress dan fiscal shock. Dalam “bahasa bayi”, keduanya merujuk pada kondisi ketika pemerintah pusat ataupun daerah mengalami tekanan besar karena tak memiliki cukup dana untuk menjalankan pembangunan dan program lainnya.
Sebabnya jelas, karena pendapatan yang tidak cukup untuk menutup belanja. Jika Anda masih ingat, pada awal tahun penerimaan pajak seret karena banyak sektor usaha yang tertekan dan terjadi masalah dalam sistem administrasi pajak Coretax. Kini, prospek penerimaan negara juga masih suram karena kondisi ekonomi lesu.
Di sisi lain, Presiden Prabowo masih berkukuh menjalankan program prioritasnya. Untuk proyek makan bergizi gratis, misalnya, Menteri Keuangan menjatahkan anggaran Rp 121 triliun. Ada pula proyek Koperasi Desa Merah Putih dengan kebutuhan dana Rp 200 triliun. Salah satu sumber dana untuk membiayai proyek-proyek itu berasal dari pemangkasan anggaran yang berlaku dari pusat hingga daerah.
Siasat tambal sulam, dengan memangkas sejumlah pos anggaran di pusat dan daerah untuk dialokasikan pada proyek prioritas presiden, bisa dibaca dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56 Tahun 2025 tentang tata cara efisiensi anggaran.
Dalam pasal itu tercatat pemerintah melakukan “penyesuaian belanja” dalam rangka keberlanjutan fiskal dan program prioritas. Efisiensi, atau bahasa lainnya pemangkasan belanja, menyasar anggaran belanja kementerian/lembaga negara dan TKD.
Hasil “efisiensi”, demikian termaktub dalam butir 3 Pasal 2, utamanya digunakan untuk “kegiatan prioritas presiden” yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh menteri keuangan.
Melihat kondisi ini, wajar ada pendapat kepentingan “daerah” dikalahkan demi program favorit presiden. Bagaimana dampaknya ke depan, tak ada yang tahu. Yang jelas, Anda bisa melihat gambarannya pada apa yang terjadi di Pati saat ini.