TheTapaktuanPost | Tapaktuan. Forum Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (FORMAKI) menyoroti tajamnya dinamika politik yang terjadi di Kabupaten Aceh Selatan dalam sepekan terakhir. Rentetan peristiwa mulai dari bencana banjir bandang di Trumon dan Bakongan Raya, sanksi nonaktif Bupati Mirwan MS oleh Mendagri hingga kegaduhan istilah “Kacung Mirwan” yang dialamatkan kepada lembaga DPRK.
FORMAKI menilai rentetan peristiwa ini bukanlah kejadian yang berdiri sendiri melainkan rangkaian cerminan dari krisis tata kelola pemerintahan (governance crisis) yang serius, di mana etika kepemimpinan dan fungsi pengawasan legislatif sedang berada di titik nadir.
“Kami ingin meluruskan persepsi publik sekaligus memberikan edukasi politik agar masyarakat memahami esensi persoalan yang sebenarnya,” kata Ketua FORMAKI, Ali Zamzami melalui siaran pers kepada TheTapaktuanPost, Rabu (24/12/2025).
Masyarakat, ulas Ali Zamzami, perlu memahami bahwa sanksi pemberhentian sementara selama tiga bulan yang dijatuhkan Mendagri kepada Bupati Aceh Selatan non-aktif H. Mirwan memiliki landasan edukasi hukum yang kuat. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, seorang kepala daerah adalah penanggung jawab utama di wilayahnya, terlebih dalam situasi force majeure atau bencana alam.
Itu sebabnya, keputusan Bupati Mirwan untuk tetap berangkat umrah saat rakyatnya tenggelam bukan sekadar masalah administrasi izin, melainkan pelanggaran terhadap prinsip Sense of Crisis atau kepekaan terhadap krisis kemanusiaan.
“Dalam tata negara, pemimpin yang meninggalkan wilayah saat status tanggap darurat dapat dikategorikan melakukan tindakan indisipliner berat layaknya desersi dalam militer,” tegas Ali Zamzam.
Oleh karena itu, kata Ali, sanksi dari pusat itu harus dimaknai sebagai pembelajaran bahwa jabatan publik melekat 24 jam dengan tanggung jawab keselamatan rakyat, yang tidak bisa dikesampingkan bahkan oleh alasan pribadi sekalipun.
Terkait polemik sebutan “Kacung Mirwan” yang dilontarkan akademisi terhadap DPRK, FORMAKI mengajak publik dan anggota dewan untuk melihatnya dari perspektif fungsi ketatanegaraan, bukan sekadar penghinaan verbal.
“Dalam sistem demokrasi, kita mengenal prinsip Checks and Balances, di mana eksekutif (Bupati) dan legislatif (DPRK) adalah mitra sejajar yang saling mengawasi. Istilah “kacung” muncul sebagai kritik satir karena publik menilai fungsi pengawasan DPRK tumpul/mandul. Ketika Bupati melakukan kebijakan yang keliru dengan pergi saat bencana, DPRK seharusnya menjadi pihak pertama yang membunyikan peluit peringatan, bukan diam seribu bahasa,” ujar Ali.
Jika legislatif diam saat eksekutif melenceng, maka secara filosofis mereka telah mendegradasi diri mereka sendiri dari “pengawas” menjadi “pengikut”.
“Inilah esensi edukasi politik yang mahal harganya: marwah parlemen tidak ditentukan oleh hormatnya orang pada mereka, tapi oleh keberanian mereka menegur penguasa,” tambah Ali.
Oleh sebab itu, FORMAKI mendesak DPRK Aceh Selatan untuk menghentikan polemik perasaan di media massa dan segera kembali ke koridor konstitusi. Cara paling elegan dan edukatif untuk membantah stigma “kacung” adalah dengan mengaktifkan Hak Interpelasi. Hak ini adalah instrumen resmi yang dijamin undang-undang bagi dewan untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan yang penting dan strategis serta berdampak luas.
“Kami menantang fraksi-fraksi di DPRK untuk memanggil Plt Bupati dan jajaran eksekutif lainnya guna mempertanyakan transparansi penggunaan anggaran bencana dan prosedur izin perjalanan dinas luar negeri yang bermasalah tersebut. Langkah konkret ini jauh lebih bermartabat dan bermanfaat bagi korban bencana daripada sekadar berbalas pantun kemarahan di ruang publik,” ujarnya.
Sejurus dengan itu, FORMAKI mengingatkan bahwa musuh bersama saat ini adalah dampak bencana, bukan kritik. Karena itu, pihaknya menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat sipil untuk terus kritis mengawal masa transisi kepemimpinan di tangan Plt Bupati Baital Mukadis. Jangan biarkan fokus penanganan pengungsi, perbaikan tanggul jebol, dan penyaluran logistik terganggu oleh drama elit politik.
“FORMAKI akan terus berada di garis depan untuk memastikan setiap rupiah uang negara sampai kepada rakyat yang membutuhkan, dan memastikan bahwa tidak ada lagi pejabat yang merasa lebih besar dari penderitaan rakyatnya sendiri,” pungkas Ali Zamzami.
