TheTapaktuanPost | Tapaktuan. Mantan aktivis Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR), Adi Darmawan, menilai pemberitaan mengenai peringatan keras lembaga DPRK Aceh Selatan kepada pengamat kebijakan publik, Nasrul Zaman patut dibaca secara jernih dan ditempatkan dalam bingkai demokrasi konstitusional.
“Negara ini berdiri di atas prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan kebebasan berpendapat—terutama terhadap pejabat dan lembaga publik,” kata Adi Darmawan kepada wartawan di Tapaktuan, Selasa (23/12/2025).
Perlu ditegaskan, kata Adi, dalam sistem demokrasi modern, pejabat publik dan lembaga negara bukan entitas yang kebal kritik. Kritik, termasuk yang keras, tajam, bahkan tidak menyenangkan, merupakan bagian sah dari kontrol sosial selama tidak mengandung fitnah, ujaran kebencian, atau hasutan kekerasan.
“Dalam konteks ini, pengamat kebijakan publik—baik akademisi maupun warga negara—memiliki hak konstitusional untuk menyampaikan penilaian atas kinerja legislatif maupun eksekutif,” ujarnya.
Pernyataan Ketua DPRK Aceh Selatan, Rema Mishul Azwa yang menilai kritik Nasrul Zaman sebagai “adu domba” tentu sah sebagai respons institusional. Namun, perlu kehati-hatian agar peringatan moral tidak bergeser menjadi kesan pembatasan ruang kritik. Sebab demokrasi yang sehat justru tumbuh dari dialektika terbuka antara kekuasaan dan publik, bukan dari upaya membungkam persepsi yang berbeda.
Istilah “kacung” yang digunakan Nasrul Zaman memang bersifat provokatif dan dapat diperdebatkan secara etika komunikasi. Namun secara substansi, ungkapan tersebut mencerminkan kecurigaan publik terhadap relasi kuasa antara legislatif dan eksekutif, khususnya dalam kasus pelanggaran hukum/administratif yang dilakukan bupati nonaktif H.Mirwan dan telah berujung pada sanksi administratif dari Menteri Dalam Negeri.
“Fakta hukum ini justru memperkuat alasan publik untuk bersikap kritis, bukan sebaliknya,” kata Adi.
Menurutnya, langkah DPRK Aceh Selatan dinilai benar telah menjalankan fungsi pengawasan melalui Komisi I. Namun, di sisi lain, publik berhak menilai apakah pengawasan tersebut cukup, efektif, dan berbanding lurus dengan ekspektasi keadilan masyarakat. Penilaian publik tidak harus selalu sejalan dengan narasi resmi lembaga.
Penting juga diingat, sambung Adi, status akademisi tidak mencabut hak seseorang sebagai warga negara. Seorang dosen tidak kehilangan kebebasan berpendapat hanya karena ia diharapkan bersikap ilmiah. Sebaliknya, kritik normatif terhadap kebijakan publik justru sering kali berangkat dari perspektif etik, moral, dan kepentingan umum—bukan semata data teknokratis.
Oleh karena itu, alih-alih mempersoalkan diksi dan motif personal, akan lebih konstruktif jika DPRK Aceh Selatan menjawab kritik dengan transparansi kinerja, keterbukaan data, dan penguatan fungsi pengawasan. Respons semacam ini tidak hanya meredam polemik, tetapi juga meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan rakyat.
“Zaman kini perlu bukti kinerja, termasuk juga hasil dari rapat komisi yang telah dilaksanakan beberapa minggu lalu, terus apa hasilnya, seharusnya di umumkan kepada masyarakat,” ujarnya.
“Pada akhirnya, demokrasi lokal di Aceh Selatan tidak akan runtuh oleh kritik. Yang justru berbahaya adalah ketika kritik dianggap ancaman, bukan cermin. Pejabat publik datang dan pergi, tetapi hak rakyat untuk mengawasi dan mengkritik kekuasaan adalah fondasi yang tidak boleh diganggu gugat,” pungkasnya.





