TheTapaktuanPost | Tapaktuan. Suasana percaturan politik di Kabupaten Aceh Selatan mendadak hangat dalam sepekan terakhir pasca keluarnya keputusan Mendagri menonaktifkan Bupati Mirwan selama 3 bulan buntut kepergiannya ke Tanah Suci melaksanakan ibadah umrah ditengah bencana alam menerjang Aceh.
Sebagian pihak dinilai terus menggoreng isu negatif dengan tujuan menjatuhkan pemerintahan Bupati Mirwan melalui pemberitaan beberapa media online lokal merespon pemanggilan pejabat eksekutif oleh DPRK Aceh Selatan agenda pemeriksaan sampai penggunaan dana perjalanan umrah Bupati Aceh Selatan H. Mirwan.
Menanggapi hal ini, mantan anggota DPRK Aceh Selatan, Zirhan SP menilai langkah lembaga legislatif Aceh Selatan cacat prosedural sehingga terkesan bersikap ugal-ugalan melampaui kewenangannya.
Jika pihak DPRK Aceh Selatan bermaksud ingin menjalankan pungsi pengawasannya, kata Zirhan, kenapa baru dilakukan setelah keluar hasil pemeriksaan Inspektur Jenderal Kemendagri dan sanksi pemberhentian sementara selama 3 bulan Bupati Mirwan telah di umumkan oleh Mendagri Tito Karnavian.
“Selain itu juga jadi aneh mekanisme kerja DPRK Aceh Selatan, sebab keputusan pemanggilan dan permintaan keterangan pihak eksekutif atas dasar hasil rapat pimpinan DPRK dengan para ketua fraksi,” kata Zirhan SP kepada wartawan Jumat (12/12/2025).
Sebab jika dilihat dalam aturan UU MD3 yang kemudian di adopsi dalam tata tertib (Tatib) dewan, urai Zirhan, forum rapat pimpinan dengan pimpinan fraksi sifatnya hanya forum konsultasi. Tetapi yang anehnya dalam konteks ini kenapa menjadi forum keputusan.
“Jika pemanggilan eksekutif dalam hal fungsi pengawasan sifatnya rapat kerja atau rapat dengar pendapat itu seharusnya jika merujuk UU MD3 yang di adopsi dalam Tatib dewan mekanismenya ada di komisi-komisi yang membidangi,” tegas Zirhan.
Lebih lanjut, mantan Presiden Mahasiswa UNAYA itu menjelaskan jika DPRK Aceh Selatan ingin meminta keterangan dan pemeriksaan pejabat daerah, maka semestinya forumnya yaitu lewat Pansus, Hak angket dan Hak interpelasi. Jika pun itu digulirkan tentu ada aturan yang mengaturnya, mulai harus ada usulan dari para anggota dewan kemudian ditindaklanjuti oleh Badan Musyawarah (Banmus) hingga sampai keputusan paripurna.
“Bukan justru hanya selevel rapat pimpinan bersama para ketua fraksi,” sesal Zirhan, seraya juga mengkritik langkah pemanggilan pihak eksekutif, karena disebutnya sarat terjadi keanehan.
“Sebab katanya rapat kerja komisi yaitu Komisi I kenapa justru Ketua DPRK yang memimpin jalannya rapat komisi bukan oleh ketua komisi,” protesnya.
“Dari inisiatif rapat awal nampak ada kejanggalan atau bisa jadi Ketua DPRK Buk Rema ingin mengendali misi yang patut di duga ada rencana politik terselubung?,” beber Zirhan penuh tanda tanya.
Memang harus diakui, kata Zirhan, lembaga DPRK adalah lembaga politik tetapi juga lembaga hukum, yang berperan seperti dua sisi mata uang dimana setiap kerja dan keputusan yang dihasilkan tidak melebihi politik dari hukum itu sendiri.
“Oleh sebab itu kita berharap DPRK menjadi pencerah dan penerang dari segala kejanggalan pemerintah dan masyarakat secara umum,” pintanya.
“Khusus terkait isu pemakzulan bupati jika ingin di lakukan tentu itu hak para anggota dewan, tetapi bukan suka – suka karena ada mekanismenya, ada dasar yang kuat tolong baca aturan lagi yang sudah sangat jelas dan terang. Sudah saatnya lembaga yang terhormat DPRK menjadi pemberi solusi bukan memperkeruh suasana dengan berasumsi yang akhirnya jadi narasi – narasi liar di tengah masyarakat,” pungkas Zirhan.





