TheTapaktuanPost | Banda Aceh. Forum Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (Formaki) menyoroti timbulnya sengketa administrasi serius yang kini bergulir di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh.
Akibat tidak adanya kepastian hukum dalam proses rekomendasi IUP, PT. Menara Kembar Abadi, sebuah perusahaan lokal yang rencana menggarap tambang bijih besi di Manggamat, Kluet Tengah mengaku terpaksa mengajukan gugatan hukum kepada Bupati Aceh Selatan H. Mirwan.
Gugatan ini telah resmi terdaftar dengan nomor perkara : 14/G/TF/2025/PTUN.BNA.
“Berdasarkan telaah dokumen gugatan dan data pendukung, kami menemukan bahwa gugatan ini diajukan atas sikap diamnya tergugat. Bupati Aceh Selatan tidak kunjung mengeluarkan keputusan atas surat permohonan tindak lanjut pembaharuan rekomendasi yang diajukan oleh PT. Menara Kembar Abadi berdasarkan surat Nomor 02/MKA/III/2025,” kata Ketua Umum LSM Formaki, Ali Zamzami kepada wartawan di Tapaktuan, Selasa (28/10/2025).
Padahal, surat permohonan tersebut telah diterima secara resmi oleh pihak tergugat pada 14 April 2025, namun dibiarkan tanpa jawaban apa pun selama lebih dari enam bulan.
“Sikap abai dan praktik penundaan berlarut yang dilakukan oleh Bupati Aceh Selatan ini adalah bentuk maladministrasi yang nyata dan serius,” kritik Ali Zamzam.
“Ini jelas melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), khususnya Asas Pelayanan yang Baik dan Asas Profesionalitas. Seorang pejabat publik wajib memberikan keputusan, baik itu menerima atau menolak, bukan membiarkan pemohon terkatung-katung tanpa kepastian,” tambahnya.
Formaki juga menyoroti adanya kejanggalan serius yang mencederai asas kepastian hukum di Kabupaten Aceh Selatan. Buktinya, berdasarkan dokumen yang dikaji oleh LSM Formaki menunjukkan bahwa Pj. Bupati Aceh Selatan sebelumnya Cut Syazalisma, S.STP, M.Si secara resmi telah mengeluarkan rekomendasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi yang sah untuk PT. Menara Kembar Abadi melalui Surat Nomor 540/85 pada 22 Januari 2024.
Rekomendasi awal itu telah didasari oleh serangkaian kajian teknis lengkap, termasuk dari BPN, Dinas LH, Camat, dan Keuchik.
“Sangat aneh ketika sebuah rekomendasi yang sudah jadi dan sah secara prosedural, tiba-tiba harus ‘diperbaharui’ hanya karena ada pergantian pimpinan. Bupati baru mengeluarkan surat permintaan pembaharuan pada 13 Maret 2025. Kebijakan yang berubah-ubah seiring pergantian pejabat ini adalah ‘bendera merah’ yang sangat berbahaya,” tegas Ali Zamzam.
Menurutnya, proses pembaharuan yang tidak jelas urgensinya ini membuka celah yang sangat rawan bagi praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Ini dapat menjadi alat bagi oknum di pemerintahan untuk melakukan negosiasi di luar prosedur atau menyalahgunakan wewenang (abuse of power) dengan menekan pemohon izin atau rekomendasi.
Menyikapi temuan ini, Formaki secara tegas meminta Bupati Aceh Selatan H. Mirwan segera menghentikan praktik maladministrasi dengan menerbitkan keputusan definitif (Persetujuan atau penolakan) atas permohonan Nomor 02/MKA/III/2025, disertai alasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Ombudsman RI Perwakilan Aceh dan Inspektorat Kabupaten Aceh Selatan juga diminta harus segera melakukan audit investigatif untuk memeriksa dugaan maladministrasi dan penyalahgunaan wewenang dalam proses ini.
“Harus ditelusuri apakah “sikap diam” ini murni kelalaian atau ada unsur kesengajaan dan/atau tekanan,” kata Ali.
Kemudian, Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan juga diminta harus segera melakukan reformasi birokrasi dan menerapkan SOP perizinan yang jelas. Keputusan administrasi harus bersifat institusional dan menghormati prinsip kontinuitas pemerintahan, bukan bersifat personal yang bisa dianulir sewenang-wenang oleh pejabat baru.
“Publik dan media massa untuk bersama-sama mengawal jalannya persidangan di PTUN Banda Aceh. Kasus ini bukan sekadar sengketa bisnis, tetapi ujian penting bagi komitmen Pemkab Aceh Selatan terhadap tata kelola pemerintahan yang bersih dan kepastian hukum bagi investasi,” pungkasnya.





