Mengapa Taliban Bisa Begitu ‘Mudah’ Kuasai Kabul, Ibu Kota Afghanistan?

TheTapaktuanPost | Afghanistan. Taliban mengumumkan perang telah berakhir di Afghanistan. Pernyataan disampaikan usai mereka berhasil menguasai Istana Kepresidenan.

“Ini adalah hari yang luar biasa untuk warga Afghanistan dan Mujahidin. Mereka sudah menyaksikan buah dari upaya serta pengorbanan selama 20 tahun,” kata jubir Taliban Mohammed Naeem seperti dikutip dari Reuters.

Bacaan Lainnya

“Terima kasih Tuhan, perang di negara ini sudah berakhir,” sambung dia.

Taliban menguasai Kabul usai mengepung ibu kota tersebut dari segala arah pada Minggu (15/8/2021).

Presiden Ashraf Ghani bahkan sekarang sudah meninggalkan Afghanistan. Dia beralasan kepergiannya itu ditujukan untuk mencegah pertumbuhan darah.

Direbutnya Kabul membuat kota itu kacau. Warga asing kini berebut untuk segera meninggalkan Afghanistan.

Taliban seperti diberikan karpet hijau kala menguasai ibu kota Afghanistan, Kabul. Tak ada perlawanan berarti, bahkan Amerika Serikat (AS) pun seperti lepas tangan atas kegentingan di Kabul.

Alih-alih membantu pemerintahan Ashraf Ghani, pasukan AS malah sibuk mengevakuasi warga mereka yang berada di kedutaan besar di Kabul.

Ada apa dengan Taliban?

Dunia internasional kini tengah memantau sepak terjang Taliban. Taliban yang sekarang agak berbeda dengan yang dahulu, Taliban yang kini terlihat lebih kompromistis.

Tak terdengar kekerasan membabi buta kala seperti dahulu Taliban menguasai Kabul. Kehidupan tetap berjalan seperti biasa, walau tentara Taliban berkeliaran bebas menenteng senjata yang rata-rata kini bukan lagi AK 47 buatan Rusia.

Jalur diplomasi internasional mereka juga sudah canggih, ketika tentara Taliban bergerak, pasukan pelobi mereka bergerak ke sejumlah negara, salah satunya China.

Dan patut dicatat juga, Taliban sudah punya kantor perwakilan di Qatar. Jadi, kiranya dunia internasional mungkin hanya tinggal menunggu waktu mengakui pemerintahan Taliban ini.

Kembali ke soal Amerika Serikat yang sama sekali tak bergerak ketika Taliban merangsek masuk menguasai Kota Kabul, patut dicatat bahwa Amerika Serikat sejak era Donald Trump memang sudah memulai proses mengeluarkan kebijakan menarik pasukan dari Afghanistan.

Sejak 2015 bahkan, Taliban sudah tak disebut sebagai kelompok teroris oleh Gedung Putih. Tak hanya itu saja, sejak 2019, delegasi AS juga melakukan pertemuan dengan Taliban yang diprakarsai Qatar.

Menurut pengamat internasional dari Universitas Al Azhar Indonesia, Syafiuddin Fadlillah, AS diduga bersikap melunak kepada Taliban terkait kebijakan mereka menghadapi kelompok Syiah. Pusat kekuatan Syiah berada sangat dekat dari Afghanistan, tepatnya di Iran. Afghanistan berbatasan dengan Iran di bagian barat wilayah.

“AS merangkul kelompok Islam sunni Hanafi Taliban demi menghadapi banyak musuh musuhnya, sebab selama ini Taliban terbukti mampu berperang dalam waktu sangat lama dan berhasil mengusir banyak musuh besar seperti Rusia,” jelas Syafiuddin.

Dengan Taliban yang berkuasa di Afghanistan, lanjut Syafiuddin, peta kekuatan politik di Asia Selatan dan Timur Tengah diperkirakan berubah.

Iran akan menarik Garda Quds di Lebanon, Suriah, dan Yaman, demi menjaga perbatasan juga. Ada ancaman pasukan Sunni Taliban yang bisa membesar.

Menurut Syafiuddin, kekuatan Taliban sebagai Sunni tentu tak akan dipandang sebelah mata oleh Iran.

Kemudian, kekuatan Taliban juga bisa mengimbangi Rusia yang memiliki wilayah yang berbatasan dengan Afghanistan.

China juga masuk dalam hitungan karena tak sedikit muslim dari China yang ikut gelombang Taliban. Belum lagi wilayah China juga ada yang berbatasan dengan Afghanistan, bisa jadi penyeimbang.

“Artinya sengaja memberi angin ke Taliban, karena dipersiapkan untuk melawan musuh AS yang kini banyak merepotkan,” ujar dia.

Pandangan dari Syafiuddin tadi mungkin sedikit banyak bisa menjawab teka-teki AS yang terlihat lepas tangan dengan gerak Taliban.

Bisa jadi AS kini juga mengalihkan fokus pandangan ke Laut China Selatan di mana sekutu mereka banyak yang ‘terganggu’ dengan intervensi China.

Tapi semua, ditegaskan Syaifuddin, masih sebatas analisis. Dunia masih melihat gerak Taliban di Afghanistan.

Taliban: Tidak Ada Pemerintahan Transisi di Afghanistan

Tidak lama setelah Kabul diduduki Taliban, Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani, memutuskan pergi ke Negara Tajikistan. Kini tidak diketahui bagaimana kabar dari Ghani.

Langkah Taliban kembali menguasai Afghanistan setelah dua dekade semakin dekat setelah ‘kaburnya’ Ghani ke Tajikistan. Namun, Afghanistan tidak akan menyerahkan kekuasaan kepada Taliban.

Dikutip dari Reuters, seorang pejabat dari Kementerian Dalam Negeri, Abdul Sattar Mirzakawal, mengatakan kekuasaan akan diserahkan kepada pemerintahan transisi.
Akan tetapi, dua pejabat Taliban mengatakan tidak akan ada pemerintahan transisi di Afghanistan. Mereka ingin pemerintah segera menyerahkan kekuasaan kepada mereka.

Sementara berdasarkan laporan dari jurnalis senior CNN di Kabul, Nick Paton Walsh, ia menyebut Taliban masuk ke Kabul dengan damai. Meski begitu sempat terdengar suara tembakan.

“Kami mendengar suara tembakan di sana-sini, tetapi tidak ada laporan tentang pertempuran jalanan atau pasukan keamanan Afghanistan berkumpul di daerah-daerah tertentu untuk mencegah masuknya mereka,” kata Walsh.

“Kami tidak dapat berkeliling dan menyaksikan peristiwa ini, mereka (Taliban) bergerak dengan lembut melintasi kota,” tambah dia.

Lebih lanjut, Walsh menyebut masuknya Taliban ke Kabul ini merupakan kejadian di luar dugaan. Sebab tidak pernah terbayangkan mereka bisa dengan mudah masuk ke Ibu Kota tanpa ada hambatan berarti.

“Tidak ada yang membayangkan Taliban akan masuk ke kota berpenduduk enam juta tanpa hambatan,” tutur Walsh. (kumparan)

Pos terkait