TheTapaktuanPost | Tapaktuan. Mahasiswa yang tergabung dalam HMI Komisariat Pertanian Universitas Syiah Kuala (USK), meminta Bupati Aceh Selatan H. Mirwan mencopot Kadis Pertanian H. Nyaklah SP. Selain itu, mahasiswa juga desak Polda Aceh lakukan proses hukum hingga tuntas atas dugaan korupsi di dinas tersebut.
Desakan itu disampaikan mahasiswa dalam point tuntutannya yang dimuat dalam surat pemberitahuan unjuk rasa (Unras) kepada Kapolresta Banda Aceh C.q Kasat Intelkam, yang diperoleh wartawan di Tapaktuan Kamis (6/11/2025).
Dalam surat yang ditandatangani oleh Koordinator Lapangan Riski Alfandi, disebutkan bahwa aksi unjuk rasa ke Polda Aceh tersebut akan dilaksanakan pada Hari Rabu tanggal 12 November 2025 pukul 14.00 WIB dengan jumlah massa sekitar 153 orang.
“Kami meminta transparansi proses hukum dugaan korupsi Kadis Pertanian Aceh Selatan. Juga meminta komitmen Kapolda Aceh objektif terhadap proses hukum yang dilakukan terhadap Kadis Pertanian Aceh Selatan,” tegas Riski dalam point tuntutannya.
Dalam keterangan pers sebelumnya, Riski Alfandi juga menyoroti Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan Tahun Anggaran 2023. Berdasarkan dokumen audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Dinas Pertanian disebut sebagai salah satu satuan kerja perangkat kabupaten (SKPK) dengan tingkat risiko penyimpangan paling tinggi. Temuan itu memperlihatkan adanya ketidaktertiban pencatatan, lemahnya sistem pengendalian internal, hingga tata kelola persediaan yang amburadul.
“Kondisi ini bukan hanya persoalan administratif, melainkan sinyal bahaya atas potensi penyimpangan yang sistemik. Pola belanja proyek di Dinas Pertanian Aceh Selatan tampak tidak sehat,” kata Ketua Umum HMI Komisariat Pertanian USK, Riski Alfandi.
Dia juga membongkar dugaan banyak proyek kecil dan menengah tersebar di berbagai lokasi sehingga dinas kewalahan mengawasi, tapi tetap dilaksakan belanja besar.
“Ini bukan sekadar soal efisiensi, tetapi menyentuh isu integritas anggaran,” ujarnya.
Riski menilai fragmentasi proyek menjadi akar masalah utama. Berdasarkan data audit dan temuan lapangan, kegiatan di Dinas Pertanian mencakup pembangunan jalan produksi, irigasi tersier, bantuan bibit, optimalisasi lahan, pengadaan alat pertanian, hingga bantuan sosial individu. Nilai tiap paket berkisar antara ratusan juta hingga miliaran rupiah, tersebar di banyak gampong dan kecamatan.
Kondisi ini menciptakan apa yang disebut sebagai fragmentasi anggaran—anggaran dipecah ke dalam banyak kegiatan kecil-menengah, sehingga efektivitas pengawasan menurun dan peluang ketidaksesuaian pekerjaan meningkat tajam.
HMI mencatat sedikitnya lima faktor yang memperkuat risiko penyimpangan: volume proyek yang sangat banyak, keterbatasan SDM pengawas, lokasi pekerjaan yang terpencar dan sulit dipantau, adanya proyek serupa dengan nilai hampir identik tanpa evaluasi dampak, serta lemahnya pengelolaan aset dan persediaan sebagaimana dicatat oleh BPK.
Lebih jauh, Riski menegaskan bahwa masalah ini berpotensi melahirkan moral hazard di tingkat pelaksana.
“Jika BPK sudah menemukan kartu stok tidak ada, gudang tak dikelola, aset tak tercatat, dan alat pertanian tanpa identitas hukum, maka bagaimana publik bisa percaya bahwa puluhan proyek ratusan juta itu dikerjakan secara benar di lapangan?” katanya.
Ia mendesak Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan untuk tidak menutup mata atas temuan ini. Menurutnya, sektor pertanian seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi daerah, bukan ladang percobaan anggaran.
“Jangan biarkan dana yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan petani justru terserap habis di meja administrasi tanpa hasil nyata di lapangan,” tutup Riski.
Kasus ini memperlihatkan bahwa tata kelola anggaran daerah masih jauh dari ideal. Jika pola pembelanjaan yang serba terfragmentasi dan tanpa pengawasan kuat terus dibiarkan, maka bukan hanya uang publik yang terancam, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah.
Dalam tulisannya di platform blog Kompasiana edisi 6 November 2025 berjudul “Misteri Gelap Hibah Rp16,9 Miliar Polda Aceh Diminta Periksa Kadis Pertanian Aceh Selatan” Riski Alfandi juga menyampaikan keprihatinan dan sikap tegas atas temuan BPK yang mengungkap adanya belanja hibah bernilai sangat besar di Dinas Pertanian Aceh Selatan yang tidak memiliki identitas penerima yang lengkap maupun jelas.
Temuan ini tercantum dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Nomor 42.A/LHP/XVIII.BAC/05/2024 tertanggal 17 Mei 2024, yang secara resmi mencatat bahwa Dinas Pertanian menjadi salah satu SKPK dengan permasalahan hibah terbesar di Aceh Selatan.
“Berdasarkan Tabel 47 LHP BPK TA 2023, BPK mendapati bahwa enam sub kegiatan hibah pada Dinas Pertanian Aceh Selatan tercatat tanpa memuat nama penerima hibah, alamat penerima, identitas kelompok tani, maupun rincian pihak yang seharusnya menerima bantuan tersebut, dengan total nilai sebesar Rp 16.994.034.819 (Rp 16,99 miliar). Temuan ini bukan sekadar administrasi yang kurang lengkap, tetapi sebagai indikasi pertama dalam kejahatan korupsi dan juga merupakan kegagalan serius dalam memastikan bantuan pemerintah tersalurkan secara tepat sasaran,” ujar Riski
Lebih jauh, BPK juga mengungkap adanya ketidaksesuaian penggunaan belanja hibah di Dinas Pertanian, yaitu Rp 114.660.000 yang dipakai untuk belanja pegawai dan Rp 326.011.642 untuk belanja barang/jasa—yang seharusnya tidak dibiayai oleh belanja hibah dengan total penyimpangan sebesar Rp 440.671.642. Temuan ini menunjukkan adanya ketidakpatuhan terhadap Permendagri 84/2022 tentang pedoman penyusunan APBD, serta lemahnya pengawasan internal.
Dalam lampiran laporan, BPK RI juga mendokumentasikan bahwa beberapa barang hibah pertanian seperti handsprayer elektrik, hand traktor, mesin perontok jagung, gerobak sorong, dan saprodi tidak disertai daftar penerima yang jelas. Hal ini membuat publik tidak tahu apakah barang tersebut benar-benar sampai kepada petani atau berhenti di meja lobi.
Karena seluruh temuan ini terjadi pada Tahun Anggaran 2023, maka tanggung jawab administratif dan akuntabilitas publik berada pada pejabat yang menjabat saat itu, yaitu Kepala Dinas Pertanian Aceh Selatan Tahun 2023, H. Nyaklah, S.P., M.M., yang secara hukum berkedudukan sebagai Pengguna Anggaran (PA) dan Kuasa Pengguna Barang (KPB). Dalam posisi ini, pimpinan SKPK wajib memastikan setiap rupiah dana hibah yang dianggarkan memiliki identitas penerima yang sah, dapat diverifikasi, dan harus dipertanggungjawabkan sesuai mekanisme regulasi.
“Atas dasar itu, saya mendesak APH, khususnya Polda Aceh untuk bertindak dan memastikan bahwa bila terjadi korupsi harus diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Publik berhak mengetahui ke mana perginya hibah bernilai hampir Rp 17 miliar tersebut, siapa penerimanya, dan apakah hibah itu benar-benar telah diberikan kepada petani yang membutuhkan?” tanya Riski.
Namun demikian, Kepala Dinas Pertanian Aceh Selatan, H. Nyaklah, membantah terkait dugaan penyimpangan sebagaimana disampaikan oleh HMI. Saat dikonfirmasi pada Kamis (6/11/2025), ia menegaskan bahwa seluruh kegiatan pada tahun anggaran 2023 dan 2024 telah dilaksanakan sesuai ketentuan dan hasil reviu lembaga pengawas.
“Kalau kasus 2024 itu bukan fiktif, melainkan terkait pembayaran dan utang daerah. Dari hasil reviu Inspektorat dan BPK, hal tersebut dianggap sebagai utang, bukan penyimpangan. Semua kegiatan terlaksana, tidak ada yang fiktif, dan seluruhnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” ujar Nyaklah.
Ia menambahkan bahwa pihaknya selalu berkoordinasi dengan Inspektorat dan BPK RI untuk memastikan setiap kegiatan di lapangan berjalan sesuai aturan. “Insya Allah tidak ada yang fiktif. Semua kegiatan terlaksana sesuai ketentuan dan hasil reviu lembaga pengawas. Kami terbuka terhadap klarifikasi dan siap menunjukkan bukti pelaksanaan di lapangan,” tegasnya.
Pernyataan Kadis Pertanian itu menjadi penyeimbang atas kritik yang muncul. Meski demikian, sorotan terhadap efektivitas pengawasan dan akuntabilitas anggaran di sektor pertanian Aceh Selatan tampaknya masih akan menjadi pembahasan panjang, mengingat peran vital sektor ini dalam mendukung ekonomi masyarakat pedesaan dan petani daerah.





