TheTapaktuanPost | Jakarta. Anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI, Haruna Soemitro, sedang jadi topik hangat. Bukan cuma karena pernyataannya soal Shin Tae-yong, tapi juga lantaran topik match fixing alias pengaturan skor.
Ramainya pembahasan soal Haruna Soemitro turut memunculkan tagar #HarunaOut, yang dipicu sejumlah pernyataannya dalam podcast milik JPNN, yang disiarkan di kanal Youtube.
Salah satunya adalah penilaian Haruna bahwa sepakbola tanpa prestasi itu tiada artinya, merujuk pada pencapaian Timnas Indonesia arahan Shin Tae-yong di Piala AFF 2020. Skuad Garuda, yang diisi banyak pemain muda, finis kedua.
“Tidak penting itu sebuah proses. Yang paling penting adalah hasil. Apapun latihannya kalau tidak juara, ya belum dikatakan juara. Indonesia sudah enam kali masuk final Piala AFF. Kalau sekarang tetap runner-up, ya bukan prestasi.”
“Saya tadi sampaikan dalam rapat evaluasi kalau hanya runner-up, tidak perlu Shin Tae-yong. Karena kita sudah beberapa kali jadi runner-up,” tegasnya.
Rapat evaluasi yang disebut Haruna merujuk pada pertemuan internal yang sudah dilakukan oleh PSSI. Rapat internal itu turut dihadiri Ketum PSSI Mochamad Iriawan, Waketum Iwan Budianto, Yunus Nusi, Wasekjen Maaike Ira Puspita, Exco Endri Erawan, Vivin Sungkono, dan Direktur Teknik Indra Sjafri.
PSSI, lewat Sekjen Yunus Nusi, sudah memberi tanggapan atas kegaduhan tersebut. Dia menegaskan masa depan Shin Tae-yong aman.
“Ketua umum memahami dan memaklumi pendapat dalam sebuah diskusi di internal PSSI tentang timnas Indonesia, baik itu diskusi menyangkut hasil Piala AFF 2020, naturalisasi, jadwal Timnas. Bahkan apakah penting PSSI akan mengambil posisi sebagai tuan rumah dalam event 2022, baik itu Piala AFF maupun kualifikasi Piala Asia Juni 2022,” kata Yunus.
“Namun demikian, dalam diskusi dan rapat di internal PSSI, semua tetap menghargai sebuah keputusan yang bersifat kolektif kolegial. Keputusan kolektif kolegial PSSI itu antara lain tetap memberikan kepercayaan kepada Shin Tae-yong hingga 2023 sesuai kontrak. Bahkan tidak menutup kemungkinan untuk memperpanjang kontrak jika performa timnas terus meningkat.”
Selain Shin Tae-yong, pernyataan Haruna Soemitro lain yang juga jadi kontroversi adalah seputar match fixing alias pengaturan skor. Katanya, “match fixing bukan sesuatu yang harus diberantas.”
Yang menarik, Haruna Soemitro juga pernah dituding terlibat match fixing dalam persepakbolaan Indonesia.
Dalam acara podcast yang sama, Haruna membeberkan pengetahuan dirinya terkait pasar judi bola di Indonesia. Termasuk bahwa “match fixing bukan sesuatu yang harus diberantas”.
“Saya justru berharap agar PSSI dalam hal ini jangan hanya terbawa arus kepada soal pemberantasan match fixing. Karena riil match fixing bukan sesuatu yang harus diberantas.. Tapi, sesuatu yang harus dilihat secara proporsional bawah apakah benar ada, baru kemudian kita melangkah ke cara mengatasinya,” ucap Haruna.
“Match fixing apakah dilakukan oleh para football family? Menurut saya tidak. Hari ini football family menurut saya masih pada tingkatan punya harga diri, punya sportivitas, punya mentality yang menurut saya teman-teman saya di football family tidak terjangkau ke sana.”
Merunut kiprah Haruna, yang kariernya sebagai pengurus sepakbola berawal di Persebaya Surabaya sekitar tahun 2003, tudingan permainan uang dan match fixing juga pernah menerpanya.
Pada 2019, misalnya, ketika namanya disebut-sebut Manajer Perseba Bangkalan Imron Abdul Fattah. Saat itu Imron mengaku dimintai dana sebesar Rp 140 juta soal menjadi tuan rumah Babak 8 Besar Piala Soeratin 2009. Satgas Antimafia Bola saat itu juga mengaku mendapatkan bukti transfer dana yang disebut mengalir ke Haruna dan Iwan Budianto.
Kemudian tudingan pengaturan skor saat Madura United takluk 0-4 dari Persebaya Surabaya pada Liga 1 2018. Saat itu Haruna dengan tegas sudah membantah.
“Untuk buktikan kebenaran tentu harus ada buktinya. Tiga tahun saya di Madura United tidak pernah lihat pertandingan di atur wasit dan bandar. Saya tidak temukan bukti itu,” kata Haruna yang menjawab tudingan itu pada Desember 2018.
Namanya makin melekat dengan dugaan pengaturan skor ketika Bambang Suryo, mantan runner, yang menyebut inisial ‘H’. Saat itu BS, sapaan akrabnya, diminta untuk menyebut identitas pelaku pengaturan skor dari pihak federasi.
“Masih ada yang bermain (pengaturan skor). Kalau saya sebut inisial saja’ Mr. H’,” ujar Bambang Suryo pada November 2021.
Belum jelas siapa ‘H’ yang dimaksud Bambang Suryo. Yang pasti pengusung identitas ‘H’ di PSSI bukan cuma Haruna. Ada juga ‘H’ yang lain. Belum bisa dibuktikan pula apakah Bambang Suryo hanya membual atau benar-benar ingin membuka borok orang PSSI soal dugaan pengaturan skor.
Haruna Soemitro mengawali karier sebagai pengurus sepakbola di Persebaya Surabaya sekitar tahun 2003. Kecintaannya terhadap Persebaya sempat membuat dirinya menjadi bagian dari Bonek, suporter Bajul Ijo.
Awalnya ia ikut terlibat dalam mengembangkan Persebaya lewat klub internal bernama Ridho FC. Sampai akhirnya ia pun ditunjuk menjadi manajer Persebaya.
Selepas dari Persebaya Haruna beralih menjadi Manajer Jawa Timur di PON 2004. Saat itu Jatim berhasil menggondol emas sepakbola.
Keberhasilannya itu yang berandil dalam penunjukan Haruna menjadi Ketua Pengurus Daerah atau Pengda PSSI Jatim. Kiprahnya di Pengda (kini menjadi Asosiasi Provinsi/Asprov) Jatim berlangsung cukup lama.
Pada 2009 ia kembali terpilih menjadi ketua Asprov Jatim untuk periode sampai 2013. Setelah Asprov, Madura United menjadi pelabuhan besar selanjutnya.
Di klub itu, Haruna sempat menjadi Manajer dan Direktur Teknik. Tapi ia akhirnya mundur dari Madura United diduga karena ingin fokus karena tak mau merangkap sebagai anggota Exco PSSI.