TheTapaktuanPost | Jakarta. Menkopolhukam Mahfud Md mengatakan Indonesia hampir dipastikan masuk resesi bulan depan. Meski demikian, ia meminta masyarakat tak perlu khawatir karena resesi bukanlah krisis ekonomi.
“Sementara kehidupan ekonomi turun terus. Bulan depan hampir dapat dipastikan 99,9% akan terjadi resesi ekonomi di Indonesia,” katanya saat memberikan sambutan dalam acara temu seniman dan budayawan Yogya di Warung Bu Ageng, Jalan Tirtodipuran, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta, Sabtu lalu (29/8/2020).
Apa dampaknya? Dampak resesi sebenarnya telah banyak diulas oleh sejumlah ekonom belakangan ini. Hal ini menyusul banyaknya negara yang masuk jurang resesi.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menyebut dampak resesi adalah maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK). Kemudian, pekerja yang memiliki kontrak jangka pendek kemungkinan tidak diperpanjang.
“Tentu saja perusahaan-perusahaan yang punya kontrak jangka pendek atau kontraknya terbatas misalnya, dia tidak akan dilanjutkan untuk perpanjangan kontrak. Kemungkinan itu terutama bagi industri-industri yang terpengaruh sampai akhir tahun bahkan sampai tahun depan seperti industri penerbangan dan sebagainya itu yang saya kira masih relatif terkendala,” katanya Senin (31/8/2020).
Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menjelaskan PHK banyak terjadi saat resesi karena permintaan atau konsumsi dari masyarakat akan menurun. Para pengusaha pun terpaksa harus melakukan efisiensi terhadap karyawannya.
“Masyarakat bawah daya belinya turun, masyarakat atas punya uang tapi dia berhati-hati dalam spending sehingga pelaku usaha itu kan bergantung kepada pembelian konsumen. Kalau yang beli sepi maka pelaku usaha, produsen-produsen, pabrik-pabrik yang jualan pasti akan turun dari sisi penjualan, kalau turun terpaksa dia melakukan efisiensi salah satunya PHK karyawan,” jelasnya.
Saat banyak PHK terjadi, lanjutnya, otomatis pengangguran di Indonesia akan semakin meningkat dan begitu juga dengan jumlah masyarakat miskin akan semakin bertambah.
“Kalau banyak karyawan di PHK berarti pengangguran meningkat, kalau meningkat daya beli masyarakat turun dan kemiskinan bisa meningkat dan itu yang dirasakan,” terangnya.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan dampak resesi ekonomi paling terasa oleh masyarakat adalah pelemahan daya beli. Bahkan, kondisi tersebut sudah mulai tampak saat ini ketika pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi pada kuartal II 2020 hingga minus 5,32 persen.
“Kalau bicara dampak yang paling terasa dan bahkan sudah dirasakan masyarakat adalah menurunnya daya beli,” ujarnya Senin (31/8/2020).
Penurunan daya beli ini, lanjutnya, tampak dari sejumlah indikator salah satunya Indeks Penjualan Riil (IPR) yang berada dalam tren negatif. Tercatat IPR minus 17,1 persen pada Juni, meskipun membaik dari minus 20,6 persen pada Mei.
“Meskipun di periode pelonggaran PSBB, ternyata aktivitas ekonomi yang diharapkan pemerintah belum jalan dengan baik, sehingga banyak masyarakat yang daya belinya secara umum masih rendah,” katanya.
Menurutnya, pelemahan daya beli memiliki efek domino kepada sektor lainnya, yakni industri manufaktur. Karena permintaan turun, lanjutnya, maka sejumlah pelaku usaha memilih untuk mengerem produksi.
Kondisi ini tampak dari sejumlah indikator yakni indeks Purchasing Managers Index (PMI) dari IHS Markit. Tercatat, PMI indeks meningkat 7,8 poin dari 39,1 poin pada Juni menjadi 46,9 pada Juli.
Namun, kenaikan itu lebih rendah dibandingkan perubahan dari posisi Mei, yakni 28,6 poin ke Juni 39,1 poin.
Selain itu, lesunya industri manufaktur tampak dari penurunan impor bahan baku/penolong sebesar 2,5 persen pada Juli lalu.
“Turunnya impor bahan baku itu menunjukkan permintaan dalam negeri melemah,” jelasnya.
Dampak resesi ekonomi lainnya, yakni peningkatan jumlah penduduk miskin. CORE sendiri memprediksi jumlah penduduk miskin menjadi 30 juta hingga 37 juta tahun ini.
Per Maret lalu, jumlah penduduk miskin naik 1,63 juta menjadi 26,42 juta orang dibandingkan periode September 2019.
Namun, ia menyatakan masyarakat sebaiknya tidak bersikap panik. Pasalnya, jika masyarakat panik kemudian melakukan pembelian barang dalam jumlah banyak (panic buying) maupun menarik uang dalam jumlah besar, justru akan memperburuk situasi.
Menurutnya, hal yang perlu dilakukan masyarakat adalah tetap tenang sembari menyiapkan langkah mitigasi resesi ekonomi.
“Misalnya, lebih banyak hemat dan menabung, kalau mungkin sediakan dana darurat itu umumnya sekitar 3 sampai 4 kali pendapatan. Saya kira itu langkah yang harus dilakukan masyarakat ketimbang panik karena akan memperburuk resesi ekonomi,” ujarnya.
Senada, Ekonom Indef Eko Listiyanto mengatakan dampak nyata resesi ekonomi adalah penurunan daya beli masyarakat.
“Dampak merosotnya daya beli karena pendapatan masyarakat hilang atau terpangkas kemudian akhirnya masyarakat tidak bisa konsumsi normal seperti waktu tidak ada resesi,” imbuhnya.
Selanjutnya, penurunan daya beli akan berpengaruh pada kenaikan jumlah pengangguran dan kemiskinan. Bahkan, ia menyatakan sebetulnya dua indikator tersebut sudah dialami Indonesia saat ini.
“Tahap berikutnya kalau resesi berkepanjangan dan tidak bisa diatasi dalam setahun, misalnya 2021 masih tumbuh negatif itu namanya depresi ekonomi,” katanya.
Namun, sepakat dengan Yusuf ia mengimbau masyarakat tidak perlu khawatir. Sejalan dengan itu, ia menyatakan pemulihan ekonomi akibat resesi ini sangat bergantung pada kebijakan pemerintah.
Utamanya, kebijakan terkait penanganan pandemi corona. Sebab, menurutnya, masyarakat masih akan menahan konsumsi apabila pandemi ini masih bertambah lantaran mereka melihat ketidakpastian.
“Masyarakat tidak perlu khawatir karena dalam konteks resesi itu ada peluang, kalau kepanjangan kemudian masyarakat harus hati-hati,” tandasnya. (detik.com/cnnindonesia)