TheTapaktuanPost | Jakarta. Dewan Pers meminta agar sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sedang dibahas di DPR RI dihapus.
“Dewan Pers menyatakan agar pasal-pasal di bawah ini dihapus karena berpotensi mengancam kebebasan kemerdekaan pers,” ujar Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra dalam konferensi pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Jumat (15/7/2022).
Menurut Azyumardi, pasal-pasal tersebut juga berpotensi mengkriminalisasi karya jurnalistik dan bertentangan dengan semangat Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Berikut adalah pasal-pasal yang terbagi dalam 9 bagian dalam RKUHP:
1. Pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara;
2. Pasal 218, 219, dan 220 tentang Tindak Pidana Penyelenggaraan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden;
3. Pasal 240, 241, 246, dan 248 tentang Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang Sah karena bersifat pasal karet;
4. Pasal 263 dan 264 tentang Tindak Pidana Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong;
5. Pasal 280 tentang Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan;
6. Pasal 302, 303, dan 304 tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan;
7. Pasal 351-352 tentang Tindak Pidana terhadap Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara;
8. Pasal 440 tentang Tindak Pidana Penghinaan Pencemaran Nama Baik;
9. Pasal 437 dan 443 tentang Pidana Pencemaran.
Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra mengatakan, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sedang dibahas di DPR banyak mengandung ancaman kebebasan pers.
“Rancangan KUHP ini mengandung banyak sekali ancaman atau bahaya terhadap kebebasan pers, kebebasan bermedia kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, dan sebagainya,” ujar Azyumardi.
Misalnya, kata Azyumardi, Pasal 188 yang mengatur ketentuan tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara.
Dalam pasal tersebut, media massa tak boleh menyiarkan hal-hal terkait dengan komunisme, marxisme, dan leninisme. Paham ideologi tersebut hanya boleh dibicarakan dalam kajian ilmiah.
“Tapi, kalau di media secara implikasi itu enggak boleh, karena kalau ada tulisan mengenai marxisme meskipun itu tulisan yang kritis terhadap marxisme, tetapi itu bisa menimbulkan kegaduhan dan deliknya ada dua tahun kalau enggak salah,” kata Azyumardi.
Tidak sampai di situ, pidana bagi media massa yang nekat menyiarkan marxisme dan sejenisnya akan semakin berat bila menimbulkan kegaduhan.
“Kalau menimbulkan kegaduhan, bisa ditambah hukumannya. Kalau kegaduhannya menimbulkan korban, itu hukumannya tambah lagi,” tutur Azyumardi.
Dalam RKUHP, media massa juga dilarang untuk menyiarkan berita-berita yang belum teruji kebenarannya. Bila berita tidak sesuai fakta, jurnalis dan media bisa dikenakan Pasal 263 dan Pasal 264.
Hukuman bagi jurnalis dan media juga berjenjang tergantung dari dampak berita yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
“Berjenjang juga kalau berita tidak menimbulkan kegaduhan ya hukumannya lebih ringan, kalau menimbulkan kegaduhan ya lebih berat,” tutur Azyumardi.