Persatuan Jaksa Indonesia Judicial Review UU Jabatan Notaris ke MK

  • Whatsapp

TheTapaktuanPost | Jakarta. Persatuan Jaksa Indonesia (PJI), mengajukan permohonan Judicial Review UU Jabatan Notaris ke Mahkamah Konstitusi (MK) dalam rangka menyalurkan aspirasi para Jaksa di seluruh Indonesia.

Gugatan ini secara resmi telah didaftarkan ke MK oleh Tim Asistensi Persatuan Jaksa Indonesia yang diwakili Rudi Pradisetia Sudirdja, S.H., M.H dan Yan Aswari, S.H., M.H, di Jakarta, Senin (10/2/2020).

“Gugatan secara resmi telah kami daftarkan ke MK sekitar pukul 10.27 WIB pagi tadi, untuk menguji Pasal 66 ayat (1) UU RI Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,” kata Rudi Pradisetia Sudirdja, S.H., M.H, dalam siaran persnya yang diterima Redaksi TheTapaktuanPost, Senin (10/2) malam.

Menurutnya, dasar pengujian pasal tersebut karena akibat kewenangan Majelis Kehormatan Notaris (MKN) yang dinilai sudah keluar dari koridor hukum, telah menghambat penegakan hukum. Buktinya penyidik, penuntut umum dan hakim harus meminta persetujuan terlebih dahulu kepada MKN sebelum melakukan tindakan hukum dilapangan.

Bunyi pasal tersebut antara lain adalah : “Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris berwenang:

a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan

b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris,”

“Dalam praktik dilapangan, tidak jarang MKN telah bertindak seolah-olah sebagai hakim yang menentukan benar atau tidaknya tindakan seorang notaris, yang berimplikasi pada dapat tidaknya notaris tersebut dilakukan pemeriksaan oleh aparat penegak hukum,” ungkapnya.

MKN, lanjut Rudi Pradisetia, memiliki kewenangan mutlak dan final untuk menyetujui atau tidak menyetujui pemanggilan Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan perkara dalam setiap tingkatan proses peradilan yang berakibat menghambat proses penanganan perkara.

Tidak hanya itu, bahkan penyidik, penuntut umum, maupun hakim yang ditolak MKN dalam memanggil Notaris tidak dapat melakukan upaya hukum apapun terhadap keputusan tersebut.

Akhirnya frasa “Dengan Persetujuan Majelis Kehormatan Notaris” menjadikan Notaris suatu profesi yang kebal hukum dan mempunyai kedudukan yang berbeda dari warga negara pada umumnya.

Padahal, frasa “Dengan Persetujuan Majelis Kehormatan Notaris” telah bertentangan prinsip-prinsip hukum yang ada yakni: Asas equality before the law sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan Asas dominus litis yang melekat pada Jaksa Penuntut Umum serta Asas Equality of Arms sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

“Frasa tersebut juga telah menyulitkan Jaksa Penuntut Umum sebagai pengendali perkara pidana, yang mana untuk menghadirkan
notaris baik sebagai saksi/tersangka/terdakwa ke dalam suatu proses peradilan pidana harus
mendapatkan persetujuan MKN terlebih dahulu,” sesalnya.

Atas dasar itu, Persatuan Jaksa Indonesia menilai bahwa penerapan pasal tersebut tidak sesuai dengan prinsip peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan sebagaimana telah diatur dengan tegas dalam Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman.

Dijelaskan bahwa, MKN dahulunya bernama Majelis Pengawas Daerah, kemudian melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 49/PUU-X/2012 yang dibacakan pada tanggal 26 Maret 2013, frasa “Dengan Persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 30 tahun 2004 tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Namun sayangnya, dalam selang waktu sekitar 10 (sepuluh) bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 15 Januari 2014, diundangkanlah UU Nomor 2 Tahun 2014.

Ironisnya, dalam UU Jabatan Notaris yang baru tersebut, alih-alih menghilangkan lembaga yang mempersulit penegakan hukum, undang-undang yang baru tersebut justru sekadar “berganti pakaian” dari Majelis Pengawas Daerah menjadi Majelis Kehormatan Notaris.

“Keputusan ini patut kita sesalkan, karena Majelis Kehormatan Notaris telah menjelma sebagai lembaga impunitas yang kebal akan hukum,” tegasnya.

“Impunitas” dapat membebaskan atau mengecualikan seseorang yang telah melakukan pelanggaran dari tuntutan atau pertanggungjawaban hukum.

Sebab, oknum Notaris yang diduga melakukan tindak pidana atau sekadar untuk menjadi saksi akan berlindung di bawah naungan Majelis Kehormatan Notaris untuk menghindari kewajiban hukum yang melekat bagi setiap warga negara.

“Untuk itu, kami meminta agar penerapan/pemberlakuan frasa “Dengan Persetujuan Majelis Kehormatan Notaris” pada ketentuan Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris sudah tidak tepat, sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi,” pungkasnya.