Oleh: Iqbal Maulana
PERKEMBANGAN teknologi telah membawa wajah baru dalam dunia pendidikan. Kini, internet tidak hanya menjadi sumber informasi, tetapi juga berperan sebagai “guru kedua” bagi siswa di sekolah. Dari sudut pandang saya sebagai mahasiswa Pendidikan Jasmani, Kesehatan, dan Rekreasi (PJKR), fenomena ini menghadirkan tantangan sekaligus peluang bagi guru untuk tetap relevan dalam mendidik generasi muda.
Dalam konteks ini, aktor utamanya adalah guru, siswa, dan teknologi itu sendiri. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber pengetahuan. Siswa kini dapat mengakses informasi secara mandiri melalui internet, mulai dari video tutorial olahraga, panduan kesehatan, hingga simulasi permainan rekreasi interaktif. Di sisi lain, guru tetap memegang peran sentral sebagai pembimbing yang memastikan informasi yang diperoleh siswa valid, tepat, dan sesuai dengan kurikulum.
Fenomena “internet sebagai guru kedua” terlihat jelas dalam berbagai aspek pembelajaran. Misalnya, dalam mata kuliah PJKR, siswa dapat menonton video teknik olahraga atau latihan kebugaran di YouTube sebelum praktik di kelas. Mereka dapat membandingkan gerakan yang mereka lihat secara daring dengan arahan dosen di lapangan. Hal ini membuat pembelajaran lebih fleksibel, tetapi juga menuntut guru untuk terus meng-upgrade kompetensi digitalnya agar mampu memandu siswa memanfaatkan sumber belajar online secara tepat.
Perubahan ini tidak terbatas pada sekolah-sekolah berbasis kota besar atau sekolah unggulan. Hampir semua sekolah kini mulai merasakan dampak teknologi. Di lapangan olahraga sekolah, misalnya, guru dapat memanfaatkan aplikasi pelacak kebugaran atau platform pembelajaran interaktif untuk memonitor perkembangan fisik siswa. Bahkan di sekolah-sekolah pinggiran, meskipun fasilitas digital terbatas, guru tetap memanfaatkan ponsel atau perangkat sederhana untuk memberikan referensi materi kepada siswa.
Transformasi ini sebenarnya telah dimulai sejak internet menjadi mudah diakses oleh publik, terutama sejak pandemi COVID-19 memaksa pembelajaran jarak jauh. Pada saat itu, guru PJKR dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana menyampaikan materi olahraga dan kesehatan secara daring? Video tutorial, modul interaktif, dan forum diskusi daring menjadi sarana baru bagi guru untuk menjembatani kesenjangan fisik dengan siswa. Sejak saat itu, internet perlahan menjadi “guru kedua” yang terus hadir bahkan ketika pembelajaran tatap muka kembali dilakukan.
Salah satu alasan utama guru harus adaptif terhadap teknologi adalah agar tetap relevan dalam mendidik siswa. Jika guru hanya mengandalkan metode konvensional, siswa yang sudah terbiasa mencari informasi secara daring akan cepat kehilangan minat. Dalam PJKR, misalnya, anak-anak mungkin sudah menonton tutorial teknik dribel bola basket atau gerakan yoga di internet. Tanpa arahan guru yang tepat, informasi tersebut bisa salah diterapkan atau menimbulkan cedera. Oleh karena itu, guru tidak hanya menjadi fasilitator, tetapi juga filter, memastikan siswa memperoleh pembelajaran yang benar dan aman.
Guru di era digital harus mampu memadukan pendekatan konvensional dan teknologi. Dalam PJKR, hal ini bisa diwujudkan dengan beberapa cara: pertama, memanfaatkan video pembelajaran sebagai referensi sebelum praktik di lapangan; kedua, menggunakan aplikasi kebugaran atau platform kuis interaktif untuk meningkatkan motivasi siswa; ketiga, mengajarkan literasi digital agar siswa mampu menilai kebenaran informasi yang mereka akses. Peran guru bukan tergantikan oleh internet, melainkan diperkuat karena kemampuan membimbing siswa memanfaatkan teknologi menjadi sangat penting.
Sebagai mahasiswa PJKR, saya melihat hal ini sebagai peluang besar. Teknologi memungkinkan pendekatan pembelajaran yang lebih personal dan variatif. Siswa dapat mempelajari teknik olahraga sesuai kecepatan mereka sendiri, memantau perkembangan fisik mereka melalui aplikasi, dan mendapatkan motivasi tambahan dari komunitas daring. Namun, keberhasilan ini tetap bergantung pada guru yang kreatif dan adaptif.
Internet sebagai guru kedua bukanlah ancaman, tetapi tantangan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Wajah baru pendidikan di sekolah menuntut guru PJKR untuk tidak hanya menguasai materi, tetapi juga menguasai cara menyampaikan materi secara digital, mengawasi keamanan informasi, dan membimbing siswa memanfaatkan teknologi secara tepat. Jika guru mampu beradaptasi, teknologi akan menjadi alat yang memperkuat peran mereka, bukan menggantikan.
Pendidikan masa depan akan menjadi kombinasi antara interaksi tatap muka dan pemanfaatan sumber belajar digital. Dalam konteks PJKR, hal ini berarti kegiatan fisik di lapangan tetap penting, tetapi integrasi teknologi akan membuat pembelajaran lebih menarik, efektif, dan relevan dengan kebutuhan siswa di era modern. Guru yang mampu menggabungkan kedua dunia ini akan menjadi pemandu yang tidak hanya mengajar, tetapi juga menginspirasi siswa untuk belajar mandiri, kreatif, dan sehat.
Akhirnya, ketika internet menjadi guru kedua, wajah pendidikan di sekolah tidak hilang, tetapi berevolusi. Guru bukan digantikan, melainkan diperkuat. Siswa bukan hanya konsumen informasi, tetapi peserta aktif dalam proses belajar. Dan sebagai mahasiswa PJKR, saya yakin kolaborasi ini akan mencetak generasi muda yang lebih cerdas, sehat, dan siap menghadapi tantangan masa depan.
Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi FKIP Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.




