Oleh : Arie Putra
SETELAH penolakan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Gubernur Bali Wayan Koster terhadap kehadiran Tim Nasional Israel U-20, publik sepak bola nasional akhirnya berhadapan dengan kenyataan yang sangat pahit. FIFA membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20.
Malang tak dapat ditolak, Ketua PSSI/Menteri BUMN Erick Thohir yang sudah terbang untuk bernegosiasi dengan Presiden FIFA Gianni Infatino di Qatar harus pulang dengan tangan hampa.
Walaupun sebelum berangkat ke Doha, Erick pasti sudah tahu bagaimana mekanisme pengambilan keputusan FIFA yang nyaris sulit diubah lewat negosiasi dan kedekatan personalnya dengan Infatino. Namun paling tidak, perjalanan Erick ke Qatar sudah memberikan citra positif bagi dirinya di mata publik sepak bola Indonesia.
Di arena politik yang semakin panas jelang Pemilu 2024, berbagai analisis pun muncul. Salah satu teori konspirasi yang ramai diperbincangkan adalah Gubernur Ganjar yang merupakan capres dengan elektabilitas paling moncer sedang dikorbankan oleh PDI-Perjuangan. Untuk apa? Agar, Puan Maharani yang elektabilitasnya jauh di papan bawah dapat dicalonkan pada pilpres nanti.
Pandangan tersebut secara sekilas sangat masuk akal. Tetapi jika dicermati lebih seksama, narasinya sangat tidak solid, seperti membangun rumah di atas pasir, butuh sedikit sapuan ombak saja untuk membuatnya kembali rata dengan tanah. Orang Melayu juga biasa menggunakan metafora seperti sedang menegakkan benang basah.
Kenapa sangat rapuh asumsi tersebut? Sebab, Gubernur Ganjar bukan politisi kemarin sore. Perjalanan politiknya di kancah nasional sudah dimulai sejak sebelum Presiden Joko Widodo menjadi pejabat negara. Jadi, tuduhan Ganjar yang dapat dikorbankan sangat menghinanya sebagai seorang politisi.
Sebelum menjadi gubernur, Ganjar sudah menjadi anggota DPR RI selama sembilan tahun, jumlah tahun yang sama dengan perjalanan politik Presiden Jokowi dari Wali Kota Solo hingga menjadi orang nomor satu di Indonesia. Kemudian, dia menang Pilgub Jateng 2013 dengan menumbangkan seorang petahana. Tidak ada keraguan, Ganjar adalah politisi yang sangat licin.
Apalagi sekarang, Ganjar sudah nyaris sepuluh tahun menjadi Gubernur. Sulit diterima nalar, politisi sekaliber Ganjar begitu mudah dikorbankan, apalagi dijadikan tumbal untuk menjadi bulan-bulanan publik.
Narasi dikorbankan PDI-Perjuangan jelas merupakan penghinaan bagi Ganjar sebagai calon pengganti Presiden Jokowi. Ganjar dianggap sebagai pemimpin yang tidak dapat mempertahankan prinsipnya, sebagaimana keyakinan mereka pada keteguhan hati Presiden Jokowi.
Ujian Loyalitas
Selain itu, sikap penolakan tersebut juga kurang layak dianggap sebagai sebuah ujian loyalitas. Ganjar bukan sehari-dua menjadi kader partai. Puan Maharani sendiri ikut mengantarkannya menjadi Gubernur Jawa Tengah, artinya dia bukan kader sembarangan. Ganjar adalah Gubernur Kandang Banteng, tidak mungkin posisi tersebut diberikan kepada kader yang belum teruji loyalitasnya.
Apalagi, ujian loyalitas dengan membela partai lewat statemen-statemen di media, tentunya bukan level pemimpin sekelas Ganjar lagi. Dengan perjalanan politik yang panjang, ujian loyalitas tentunya sudah diberikan sejak bertahun-tahun yang lalu. Ganjar sampai ke titik yang sekarang merupakan hasil uji loyalitas terus-menerus.
Dalam banyak interview, Ganjar sudah memberikan pernyataan-pernyataan kesetiaan pada PDI-Perjuangan dan Ketua Umum Megawati. Ujian Ganjar bukan lagi tataran narasi, tetapi lebih kepada aksi untuk memperluas pengaruh partai.
Bentuk loyalitas seorang kader partai yang duduk di jabatan publik tentu berbeda dengan kader pada umumnya. Bukan lagi ujian narasi, sebab itu sudah pasti dikuasai Ganjar yang pernah ikut berbagai pendidikan kaderisasi. Ujian sesungguhnya adalah terkait seberapa besar kontribusinya untuk memperbanyak kursi PDI-Perjuangan. Kalau selama ini sudah banyak berbuat, tentunya tidak perlu ujian loyalitas yang aneh jelang kontestasi elektoral.
Pernyataan penolakan kedatangan Timnas Israel masih level ujian loyalitas junior kepada senior di kampus. Kalau tuduhan pernyataan menolak Timnas Israel adalah bagian dari ujian, artinya loyalitas Ganjar selama ini masih kurang terbukti. Sebagai kader partai tentunya ini juga sebuah penghinaan buat Ganjar Pranowo.
Persaingan Internal
Selanjutnya, narasi aneh lain adalah PDI-Perjuangan ingin menghancurkan Ganjar sebagai bagian dari upaya menggerek Ketua DPR Puan Maharani. Di tengah kompetisi internal PDI-Perjuangan, pandangan ini terasa benar.
Namun, mengorbankan Ganjar sebagai calon terkuat tentunya tidak menguntungkan. Kalau partai yang sudah lama dan teruji berpolitik, tidak akan mengambil pilihan zero sum game. Pilihan yang gegabah biasanya diambil oleh orang-orang yang belum teruji saja.
Mengacu ke sejumlah hasil jajak pendapat, Ganjar selalu unggul atas kandidat lainnya. Bahkan, sejumlah lembaga polling meyakini Ganjar akan memberikan kemenangan hattrick bagi PDI-Perjuangan, sekaligus memastikan kursi presiden.
Dengan golden ticket yang dimiliki PDI-Perjuangan, mereka bisa saja mencalonkan Ganjar berpasangan dengan Puan. Kalah atau menang kandidat ini, PDI-Perjuangan pasti akan dapat untung besar di parlemen.
Lembaga sekelas Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) yakin betul dukungan terhadap Ganjar berasal dari berbagai segmentasi pemilih, mulai dari kalangan nasionalis sampai kaum Nahdiyin. Tentunya, Ganjar berpasangan dengan Puan atau siapapun tidak akan menjadi masalah.
Pemikiran Geopolitik
Selanjutnya, argumen PDI-Perjuangan mengorbankan Ganjar Pranowo juga sekaligus merendahkan pemikiran geopolitik dari Sekjen PDI-Perjuangan Hasto Kristiyanto. Gagasan dari disertasi Doktor Hasto soal pemikiran geopolitik Bung Karno merupakan dasar pemikiran atas penolakan terhadap kedatangan Israel ini.
Tidak mungkin gagasan yang ada di dalam disertasi tersebut merupakan pemikiran sembarangan. Kenapa begitu? Sebab, Hasto menamatkan studi doktoral di Universitas Pertahanan dengan IPK 4.0 (Cumlude). Apalagi, disertasi tersebut diuji langsung oleh Megawati Soekarnoputri. Seorang sekjen partai pemenang pemilu dapat memiliki capaian yang begitu gemilang, sedangkan kita yang mungkin cuma fokus kuliah belum tentu bisa meraih capaian tersebut.
Tentunya, kedalaman dan novelty dari sebuah disertasi mesti dibumikan melalui berbagai sikap politik. Karya ilmiah dari seorang politisi merupakan sebuah pikiran untuk memperkokoh agenda pergerakan, bukan hanya jadi perbincangan ruang akademik. Dalam konteks ini, Sekjen Hasto sudah sangat tepat.
Argumen geopolitis ini perlu menjadi pembahasan yang lebih mendalam. Lepas dari setuju atau tidak dengan penolakan kedatangan Timnas Israel ini, Hasto sudah menjadikan pikiran filosofis untuk melegitimasi sikap politik partainya, bukan sekadar suka atau benci.
Akhir kata, narasi Ganjar sudah dikorbankan oleh PDI-Perjuangan untuk menolak kedatangan Timnas Israel membuat kita sedang merasa de javu, sebuah sejarah berulang. Dahulu, Presiden Megawati juga pernah dianggap mengorbankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Salah satu prinsip dalam politik elektoral merupakan arena pertarungan persepsi, bukan pertarungan salah atau benar, apalagi pertarungan menghadirkan keadilan. Jika publik banyak yang percaya dengan narasi Ganjar Pranowo dikorbankan PDI-Perjuangan, maka artinya sangat mungkin pada 2024 nanti akan lahir presiden korban Megawati kedua dalam sejarah politik Indonesia. Setelah tenggelam SBY, maka terbitlah Ganjar.
Penulis adalah : Co-founder Total Politik, host Adu Perspektif, detikcom X Total Politik.