TheTapaktuanPost | Tapaktuan. Direktur Eksekutif Yayasan Gampong Hutan Lestari (YGHL), Sarbunis, memastikan rencana pengembangan Agrowisata Sigantang Sira, Puncak Pinto Angen, Gunong Kapho, Kecamatan Trumon, yang digagas oleh salah seorang pengusaha yang juga pegiat wisata di Aceh Selatan, Tgk. Abrar Muda, tidak perlu harus ada kajian Analisis Masalah Dampak Lingkungan (AMDAL).
“Saya pastikan tidak perlu harus ada kajian AMDAL, sebab lahan yang digarap itu tidak sampai 100 hektar paling ada dibawah 50 hektar. Itu cukup dengan hanya membuat kajian lingkungan atau studi kelayakan lingkungan (UKL/UPL),” kata Sarbunis kepada TheTapaktuanPost di Tapaktuan, Jum`at (19/2/2021) malam.
Bahkan, lanjut Sarbunis, jika lokasi pengembangan objek wisata tersebut masuk ke dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yaitu sebuah kajian yang dilakukan pemerintah daerah sebelum memberikan izin pengelolaan lahan maupun hutan sebagaimana tertuang dalam UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana disampaikan Direktur Walhi Aceh, M. Nur, maka makin memperjelas bahwa tidak perlu kajian AMDAL.
“Apakah lokasi Agrowisata tersebut masuk dalam kawasan KLHS, kita belum tahu. Itu tergantung pemerintah daerah apakah memasukkan kawasan itu menjadi kawasan KLHS dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh Selatan. Jika masuk, makin menguatkan bahwa pengembangan objek wisata itu tidak perlu kajian AMDAL,” ujarnya.
Disamping itu, lanjut Sarbunis, terhadap pengembangan sebuah objek wisata ada perlakuan khusus sesuai amanat undang-undang, apalagi pengembangan Agrowisata yang memadukan keindahan pesona wisata alam dengan tanaman – tanaman pertanian produktif. Karena pengembangan objek wisata seperti itu tidak menimbulkan dampak kerusakan lingkungan secara signifikan.
“Sebab pengembangan Agrowisata itu dipastikan akan ada restorasi dan reboisasi lingkungan kembali nantinya. Apalagi kawasan itu sudah dipastikan tidak masuk ke dalam kawasan hutan lindung, hutan produksi maupun suaka marga satwa rawa Singkil-Trumon. Melainkan adalah kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) atau budidaya yang selama ini sudah digarap oleh petani,” papar Sarbunis.
Merujuk penjelasan Direktur Walhi Aceh, M. Nur, kata Sarbunis, dampak penting yang jangan sampai ditimbulkan adalah gangguan terhadap ekosistem, ekologi, bentang alam dan potensi konflik sosial sesuai Permen LHK Nomor : P.38 tahun 2019 tentang kegiatan wajib AMDAL terhadap pembangunan kawasan pariwisata dengan semua besaran luas dan kawasan taman rekreasi dengan skala diatas 100 hektar.
“Karena ini tidak mencapai 100 hektar, maka dapat dipastikan tidak wajib harus ada kajian AMDAL. Apalagi nantinya akan ada restorasi dan reboisasi dengan tanaman yang memiliki tegakan dan akarnya bisa berfungsi untuk tangkapan air serta produktif seperti durian, kemiri, mangga, jengkol dan lain-lain,” papar Sarbunis.
Dari amatan pihaknya, kata Sarbunis, lokasi tersebut jelas-jelas tidak sampai mengganggu ekosistem dan ekologi, tidak merubah bentang alam, tidak sampai terjadi konflik sosial yaitu antara masyarakat dengan satwa atau manusia dengan manusia. Hal ini sesuai dengan Permen LHK Nomor : P.38 tahun 2019 tentang kegiatan usaha wajib AMDAL serta UU Nomor : 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Menurut Sarbunis, polemik mengenai keharusan wajib AMDAL terhadap kegiatan pengembangan Agrowisata Sigantang Sira sehingga menjadi isu bola liar ditengah masyarakat belakangan ini, diawali dari statemen salah seorang pejabat di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Aceh Selatan.
Oknum pejabat ini, kata Sarbunis, terkesan seperti kurang paham dan tidak memahami betul duduk persoalan yang terjadi dilapangan.
Kekurang pahaman oknum pejabat ini, ujar Sarbunis, telah dibuktikan langsung ketika pihaknya melakukan gugatan terhadap PT. PSU sebuah perusahaan yang selama ini menggarap tambang emas di Manggamat, Kecamatan Kluet Tengah.
“Ketika itu, pejabat ini baru paham ketika kami meminta bantu pada seseorang menghubungi dia untuk menjelaskan duduk persoalan yang terjadi sebenarnya. Baru saat itu dia paham masalah,” ungkap Sarbunis.
Sebenarnya kalau saja oknum pejabat di Dinas Lingkungan Hidup Aceh Selatan ini paham, kata Sarbunis, disaat Agrowisata Sigantang Sira sudah lama viral di media sosial dan media-media menstream, kenapa DLHK Aceh Selatan tidak langsung menyikapinya dengan cara menyurati atau meninjau langsung dan memberikan masukan kepada pelaku usaha kegiatan tersebut. Seharusnya, jangan asal sebut bahwa kegiatan itu wajib AMDAL.
“Mana tanggungjawab dinas terkait terhadap usaha-usaha masyarakat ingin memajukan daerah ini. Kegiatan ini kan sebuah kegiatan yang digagas oleh pihak swasta untuk memajukan pembangunan daerah dan meningkatkan perekonomian masyarakat, sehingga harus di dukung oleh semua pihak khususnya dari pihak pemerintah itu sendiri,” sesalnya.
Karena itu, Sarbunis meminta kepada para pihak di daerah itu jangan sedikit-sedikit menakut-nakuti para pelaku usaha dengan persoalan AMDAL. Sebab dikhawatirkan bisa membuat trauma dan ketakutan para pelaku usaha sehingga tidak akan tumbuh dan berkembang iklim investasi di daerah itu.
“Apalagi saat ini, sudah ada UU Omnibus Law yang makin mempermudah para pelaku usaha mengembangkan usahanya di wilayah Indonesia demi untuk menarik minat investor menanamkan investasinya di dalam negeri. Kalau tidak salah, dalam UU Omnibus Law itu hanya cukup kajian lingkungan saja. Semuanya sudah makin dipermudah,” pungkasnya.