Qanaah Penangkal Serakah Dalam Perspektif Tarekat Naqshabandiyah

  • Whatsapp

MEMASUKI akhir bulan suci Ramadhan ini, saya meyakini jika ibadah kita dijalankan dengan ikhlas dan istiqamah akan memancarkan sikap ketundukan kita kepada Allah SWT, tempat kita kembali. Sikap itu diantaranya adalah kepasrahan kita kepada-Nya, misalnya tentang sikap qanaah terhadap masalah dunia. 

Refleksi batin orang yang berpusa adalah bahwa yang terpenting adalah kita mengejar Allah, bukan mengejar dunia dengan isinya yang merupakan ciptaan-Nya. Jika dalam puasa ini orang masih mengejar dunia, berarti dampak rohani puasanya belum terasa. Bagi orang yang beriman, sikap qanaahakan mengurangi nafsu untuk mengejar dunia semata.

Kenyataannya? Masih juga banyak orang serakah mengejar dunia, bahkan harus melakukan korupsi dengan berbagai cara. Kecenderungan manusia adalah mengejar, menumpuk, dan mengumpulkan barang yang fana. Padahal semua orang tahu, dunia seisinya dengan segenap hiasan dan keindahannya akan berujung pada tanah sempit seluas dua kali setengah meter. 

Segala yang dikejar, ditumpuk, dan dikumpulkan di dunia tidak akan dibawa serta. Namun mengherankan, manusia berlomba-lomba mengagungkan yang fana dan melalaikan yang kekal abadi, yaitu Allah dan kehidupan akhirat. 

Ibn Atha’illah al-Sakandari, seorang mursyid tarekat dari Alexandria, Mesir, dalam salah satu bait mutiara hikmahnya yang masyhur, al-Hikam menyatakan: al-ajib kullul ajib mimman yahribu mimma la tifkaka lahu ‘anhu wayathlubu mala baqaa’a lahu ma’ahu (sungguh mengherankan orang lari dari apa yang dia tidak bisa terlepas darinya dan malah mencari apa yang tidak kekal baginya).

Mengejar dunia

Sikap orang yang mengejar dunia seperti itu sesungguhnya matahatinya telah buta sebagaimana diisyaratkan dalam Alqur’an: fainnaha la ta’mal abshoru walakin ta’milqulubullati fissudur  (sesungguhnya mata kepala itu tidak buta, tetapi yang buta adalah mata hati yang ada di dalam dada , QS Al-Hajji/22:46).

Manusia memang cenderung lari meninggalkan Allah dan kampung akhirat, padahal tidak sejengkal pun makhluk bisa lari dari Sang Khalik. Sebaliknya, manusia cenderung merasa nyaman dan kerasan tinggal di dunia, seolah-olah akan abadi di dalamnya. 

Padahal kehidupan dunia hanya sementara, kemudian fana. Hanya Allah-lah yang kekal selamanya. Orang yang memburu sesuatu yang sirna dan melupakan Allah yang Maha Kekal adalah ciri orang yang serakah dan telah buta matahatinya. Orang seperti ini berarti tidak memiliki sifat qanaah terhadap pemberian Allah.

Qanaah dapat diartikan secara singkat sebagai sikap rela atau merasa puas. Selain itu, qanaahmerupakan sikap yang berbentuk kerelaan hati serta merasa cukup atas setiap sesuatu yang menjadi miliknya dan atas setiap sesuatu yang dianugerahkan Allah SWT kepadanya. 

Tidak hanya itu, qanaah juga merupakan sikap yang berupaya menjauhkan diri dari rasa tidak puas dan tidak menerima karunia Allah SWT. Qanaah dalam praktik sufi adalah maqamat(stase atau tahapan) spiritual  yang harus dilalui  untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, selain stase zuhud.

Kepuasan jiwa

Dengan demikian qanaah adalah kepuasan jiwa terhadap apa yang telah diberikan Allah kepadanya, sebagaimana dinukilkan dalam kitab Risalah Qusyairiyah yang mengatakan qanaahadalah merasa cukup terhadap apa yang ada. Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Thbarani dari Jubir RA, Nabi bersabda bahwa qanaah adalah harta yang tidak pernah sirna: Al-qanatul kanzun la yafna.

Adapun Buya Hamka (1970) memerinci, qanaah secara lebih lengkap yang terdiri dari beberapa indikator. Hal itu meliputi menerima dengan rela akan apa yang ada dan dimiliki, memohonkan kepada Allah SWT akan tambahan yang pantas dan tetap berusaha dengan cara yang baik, menerima setiap anugerah dengan sabar akan ketentuan Allah SWT., bertawakal atau pasrah kepada Allah SWT., serta tidak tertarik dan tidak terpengaruh oleh tipu daya dunia.

Betapa bahayanya penyakit serakah terhadap dunia, maka untuk menghaluskan akal budi manusia, dalam Tarekat Naqshabandiyah harus dilakukan dzkir lathaif agar nafsu yang jelek pada manusia itu bisa dikendalikan. Dzikir lathaif itu ditujukan pada nafsu amarah sebagai hasil dari nafsu nathiqahyang berjalan lepas dan liar yang mengajak berbuat jelek. Jadi, lathifatul nathiqah yang berpusat pada akal dan otak manusia akan menghasilkan jiwa liar yang hanya mengikuti hawa nafsu. 

Implikasi dan wujud dari nafsu ini adalah hubbudunya (cinta dunia) dan ahlul ma’siat (ringan melakukan maksiat). Kedua penyakit itu adalah penyakit hati yang harus diperangi melalui riyadhah, mujahadah, dan muraqabah kepada Allah SWT agar hati dan sifat manusia qanaah terhadap pemberian dan karunia Allah SWT dalam urusan dunia, serta sebaliknya tidak serakah.

Implikasi positif menjalani ibadah di bulan Ramadan ini berupa sikap qanaah harus terus kita jaga sampai kapan pun. Bukankah esensinya kita mencari Allah, bukan mencari dunia?[] (medcom.id)

Pos terkait