Oleh: Zainal Putra, S.E., M.M.
Pandemi Virus Corona ditanggapi serius oleh Pemerintah Indonesia sejak tanggal 28 Januari 2020, dengan diterbitkannya Keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) nomor 9A tahun 2020. Persisnya isi dari keputusan tersebut adalah menetapkan status keadaan tertentu darurat bencana wabah Virus Corona di Indonesia, yang berlaku selama 32 hari terhitung sejak tanggal 28 Januari 2020 sampai dengan tanggal 28 Februari 2020.
Keseriusan kedua kali dibuktikan dengan diterbitkan lagi Keputusan Kepala BNPB nomor 13A tahun 2020, tanggal 29 Februari 2020. Isi dari keputusan tersebut bahwa status keadaan tertentu darurat bencana wabah Virus Corona di Indonesia diperpanjang selama 91 hari, terhitung sejak tanggal 29 Februari 2020 sampai dengan 29 Mei 2020. Keputusan yang kedua ini terbit setelah 32 hari keputusan pertama terbit.
Dalam kaitan tersebut, sebagai tindakan pencegahan Covid-19 di lingkungan satuan pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), menurut catatan penulis paling tidak telah tiga kali menerbitkan surat edaran (SE), yaitu: SE nomor 2 tahun 2020 yang diterbitkan tanggal 9 Maret 2020, SE nomor 3 tahun 2020 juga diterbitkan tanggal 9 Maret 2020, dan SE nomor 36962 tahun 2020 yang diterbitkan tanggal 17 Maret 2020.
SE nomor 36962 tahun 2020 merupakan jurus pamungkas yang dikeluarkan Kemdikbud dalam mengimplementasikan strategi pencegahan Covid-19 yang semakin menggila. Pihak Kemdikbud mewajibkan pembelajaran secara daring atau online. Dalam artian pelaksanaan pembelajaran di lakukan secara jarak jauh, yaitu dari rumah dengan memanfaatkan sistem teknologi informasi.
Kemudian atas dasar itu mayoritas pihak otoritas perguruan tinggi di Indonesia mengeluarkan edaran kepada seluruh sivitas akademikanya, bahwa demi mengikuti protokol pencegahan Covid-19 yang disampaikan Kantor Staf Presiden, maka sistem pembelajaran tradisional berupa tatap muka di kelas ditiadakan. Mahasiswa diperkenankan tidak pergi ke kampus dan dibolehkan pulang kampung.
Namun demikian pembelajaran antara dosen dengan mahasiswa dialihkan menjadi pembelajaran daring sampai semester genap ini berakhir. Dosen memberikan pembelajaran kepada mahasiswa dari rumahnya dan mahasiswa mengikutinya dari rumah masing-masing. Termasuk ujianpun dilakukan secara daring.
Pada prinsipnya selama masa darurat Covid-19 ini perkuliahan tidaklah libur. Sistem perkuliahan tetap berjalan sebagaimana biasa. Ketika semester genap ini berakhir nanti, maka mahasiswa dapat menerima nilai hasil studinya dari pihak kampus sesuai dengan kinerjanya.
Banyak mahasiswa yang salah kaprah terhadap hal ini. Dari beberapa penelusuran yang penulis lakukan, mahasiswa yang pulang kampung menyamakannya dengan saat libur kuliah. Sesampai di kampung halaman mereka kebanyakan membantu orang tuanya bekerja, apakah pergi melaut, bertani, berdagang ataupun kerja bangunan. Alasannya bekerja adalah untuk mencari uang.
Mereka sudah lupa, sebenarnya mereka sedang dalam perkuliahan. Sehingga pada saat dosen melakukan pembelajaran secara daring, beberapa mahasiswa ternyata tidak dapat terhubung. Jikapun mahasiswa harus bekerja tentu harus disesuaikan dengan pembelajaran daring yang sudah dijadwalkan bersama. Tapi ingat, sebenarnya sekarang adalah masa karantina mandiri. Tinggal di rumah adalah lebih baik, sampai wabah ini mereda.
Begitu pula bagi mahasiswa yang sedang menyusun karya ilmiah tugas akhir (skripsi). Seharusnya mereka dapat memanfaatkan momen ini untuk menulis dengan tenang dari rumah dan dapat melakukan konsultasi dengan dosen pembimbingnya secara daring pula, baik melalui fasilitas email, maupun fasilitas sosial media lainnya. Untuk mencari referensi sekarang sangat mudah, tinggal berselancar di dunia maya, lalu jurnal ilmiah dan buku-buku elektronik dapat diunduh. Asalkan paket internet tersedia.
Dari beberapa group WA, saya juga ada menerima video pendek dan narasi sindirian untuk kaum dosen di masa corona. Diduga dikirim oleh orang tidak dikenal. Secara pribadi sebenarnya saya tertawa juga atas kiriman demikian. Saya anggap sebagai hiburan dimasa galau begini. Lagi pula sindirannya sangat mengena.
Dalam video itu, si mahasiswa berpesan seraya memelas kepada dosen supaya tidak ‘membombardir’ mereka dengan banyak tugas. Katanya: “Semua dosen kasih tugas banyak-banyak. Apakah begini yang disebut dengan pembelajaran daring”? Sedangkan narasi sindiran lainnya berbunyi: “Kampus lockdown, tugas smackdown, mahasiswa down”. Menurut saya kaum dosen janganlah amarah dalam menyikapi sindiran begitu. Itu ‘joke’ di musim wabah corona.
Menimba dari Pengalaman UT
Pembelajaran jarak jauh sudah dilakukan Universitas Terbuka (UT) sejak 36 tahun lalu, yakni sejak universitas tersebut diresmikan pada tanggal 4 September 1984, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 41 Tahun 1984. Sebagai informasi, UT adalah Perguruan Tinggi Negeri ke-45 di Indonesia.
Mahasiswa UT ada diberbagai manca negara dan mereka belajar secara mandiri. Cara belajar mandiri ini menghendaki mahasiswa untuk belajar atas prakarsa atau inisiatif sendiri. Telah diakui bahwa UT mampu menyediakan bahan ajar yang dibuat secara khusus untuk dapat dipelajari secara mandiri oleh mahasiswa. Selain itu, mahasiswa juga dapat memanfaatkan perpustakaan online, mengikuti tutorial melalui internet, radio, dan televisi, serta menggunakan bahan ajar berbantuan komputer dan program audio/video.
Belajar mandiri dalam banyak hal ditentukan oleh kemampuan belajar secara efektif. Kemampuan belajar bergantung pada kecepatan membaca dan kemampuan memahami isi bacaan. Pihak UT menuntut supaya mahasiswa memiliki disiplin diri, inisiatif, dan motivasi belajar yang kuat. Mahasiswa juga dituntut untuk dapat mengatur waktunya dengan efisien, sehingga dapat belajar secara teratur berdasarkan jadwal belajar yang ditentukan sendiri. Tidak mengherankan ketika mahasiswa lulus UT, mereka terbiasa dengan kemandirian.
Kendala Pembelajaran Daring
Gara-gara virus corona ini, mau tidak mau semua dosen wajib melakukan pembelajaran secara daring. Bagi dosen yang berasal dari kaum milenial, kebijakan ini disambut dengan gembira. Karena berkaitan dengan ‘gedget’ dan internet adalah dunianya mereka. Dosen milenial nyaris tanpa kendala dalam hal pembelajaran daring.
Lain halnya dengan dosen generasi ‘baby boomers’ (kelahiran 1946 – 1964). Mereka ini merasa sangat kewalahan dengan sistem pembelajaran daring. Sehingga mereka menganggap ini beban yang sangat berat. Karena tidak sanggup pikir, maka mereka merasa acuh tak acuh dengan model pembelajaran semacam ini. Akibatnya prestasi kerja tidak memuaskan berbagai pihak. Rupanya kendala tidak hanya terjadi pada generasi ‘baby boomers’ semata. Ditemukan juga pengajar ataupun perserta didik yang konon menganggap diri milenial, juga masih banyak gagap teknologi. Gedget yang mereka kuasai selama ini ternyata sebatas untuk update dan cek status, baik itu facebook, WA, instagram maupun twitter.
Kendala lainnya adalah belum semua kampus memiliki infrastruktur teknologi informasi yang mumpuni, dalam hal ini sistem e-learningnya. Dan yang banyak dikeluhkan adalah mahasiswa maupun dosen harus mengeluarkan dana tambahan untuk mengisi paket internet.
Solusinya
Mencermati dari permasalahan di atas, penulis berusaha memberikan beberapa sumbang saran kepada pemangku kepentingan di lembaga pendidikan tinggi. Pertama, berkaca dari pengalaman wabah ini, sudah saatnya pihak kampus melakukan investasi secara besar-besaran terhadap penyediaan infrastruktur teknologi informasi sesuai dengan kebutuhannya.
Kedua, memberikan pemahaman atau tutorial secara jelas kepada seluruh sivitas akademika terkait dengan mekanisme sistem pembelajaran online yang seragam, sehingga dapat dilakukan pengontrolan secara tepat.
Ketiga, tidak salahnya dalam masa wabah ini diberikan subsidi biaya paket internet kepada mahasiswa, khususnya kepada mahasiswa yang tidak mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Anggaran bidang kemahasiswaan yang relatif banyak tidak terserap, bisa diupayakan realokasi untuk subsidi paket internet kepada mahasiswa dimasa tanggap darurat bencana wabah Covid-19 yang melanda saat ini. Teknis dan mekanismenya tentu dapat dibicarakan dengan pihak terkait. Dana publik apabila digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, itulah amanah dari pendiri bangsa ini. Wallahua’lambishawab.
Penulis adalah dosen Universitas Teuku Umar, yang juga staf ahli kantor jasa akuntan I Putu Gede Diatmika Area Aceh. Sekarang sedang menempuh pendidikan S3 pada Program Doktor Ilmu Manajemen, Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.