TheTapaktuanPost | Labuhanhaji Barat. Transparansi Tender Indonesia (TTI) mengkritik keras keterlibatan oknum PNS Pemkab Aceh Selatan dalam kelompok penerima bantuan tambak udang vaname sumber APBA 2025. Oknum PNS ini, selain terlibat mempersiapkan pembentukan kelompok penerima baru juga disebut-sebut menyediakan lahan pribadinya yang berlokasi dekat pesisir laut Gampong Kuta Iboh, Labuhanhaji Barat.
“Keterlibatan oknum PNS dalam proyek tambak udang vaname itu jelas-jelas melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Karena itu kita minta Bupati Aceh Selatan selaku Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) memberi teguran keras,” kata Koordinator TTI, Nasruddin Bahar kepada wartawan di Tapaktuan, Rabu (8/10/2025).
Tambak HDPE adalah sistem budidaya ikan atau udang yang menggunakan geomembran atau lapisan terpal berbahan High-Density Polyethylene (HDPE) sebagai pelapis dasar dan dinding kolamnya.
Tender proyek dibawah pengelolaan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh itu, dimenangkan oleh CV. Sumber Makmur Aksata yang disebut-sebut titipan oknum ULP Aceh dengan nilai penawaran Rp 636 juta dari HPS Rp 637 juta.
Berdasarkan hasil penelusuran TTI, awalnya program pembangunan tambak HDPE tersebut merupakan usulan pokok pikiran (Pokir) salah seorang anggota DPRA Dapil IX yang tak maju lagi pada Pileg 2024 lalu. Anehnya, kendati sudah ada penetapan pemenang beberapa bulan lalu, namun hingga awal Oktober 2025, proyek yang diduga penerima manfaatnya oknum PNS Pemkab Aceh Selatan tersebut belum dikerjakan sama sekali. Pasalnya, kelompok penerima manfaat menolak pelaksanaan proyek karena status lahan tambak yang akan dibangun masih bermasalah.
Sumber internal menyebutkan, proyek itu tetap dipaksakan untuk dijalankan meski secara administratif belum memenuhi syarat.
“Ini program yang dari awal sudah bermasalah. Lahan belum jelas, kelompok penerima menolak, tapi tetap dipaksakan jalan. Ini jelas melanggar prinsip akuntabilitas,” kata Nasruddin Bahar.
Untuk memuluskan misinya, TTI juga menemukan upaya pengalihan kelompok penerima manfaat secara sepihak dan mendadak yakni baru dibentuk kelompok baru dalam beberapa pekan terakhir. Celakanya, Dinas Perikanan Aceh disebut justru merekomendasikan bantuan tambak kepada kelompok baru yang baru saja dibentuk, padahal legalitasnya belum sah.
“Kelompok baru ini belum punya SK Hibah dari Gubernur Aceh. Artinya, secara hukum mereka tidak berhak menerima bantuan pemerintah. Ini bisa berpotensi menjadi temuan hukum,” tegas Nasruddin.
Selain itu, Nasrudin Bahar juga mempertanyakan legalitas kelompok penerima bantuan yang diduga belum memiliki Kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan (KUSUKA). Demikian juga terkait belum adanya izin dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Padahal izin Amdal yang telah disetujui menjadi salah satu dasar untuk memperoleh izin lingkungan dan izin berusaha untuk proyek pembangunan HDPE tersebut. Termasuk belum dikantonginya izin OSS untuk syarat sah kelompok dan PNBP/KPRL persetujuan dari kabupaten tentang air laut yang juga belum dimiliki.
Karena itu, Nasruddin Bahar mendesak Gubernur Aceh H. Muzakir Manaf melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh segera membatalkan paket proyek tersebut sebelum menimbulkan kerugian negara.
“Jangan biarkan program bantuan yang seharusnya berpihak kepada masyarakat justru berubah jadi proyek kepentingan politik. Bila tetap dipaksakan, ini bisa mengarah pada dugaan penyalahgunaan wewenang,” pungkasnya.